almuhtada.org – Setiap nikmat merupakan titisan cahaya Ilahi yang menandakan bahwa anugerah dalam hidup kita tidak semata berupa materi belaka saja. Namun di baliknya tersimpan rahasia Tuhan yaitu makna-makna tersembunyi yang hanya dapat dibaca oleh hati yang senantiasa bersyukur kepada Allah SWT.
Dunia ini tiada lain merupakan panggung yang megah, tempat di mana kita sebagai manusia diuji oleh Allah SWT. dalam dua takdir yaitu manis berupa nikmat dan juga pedih berupa musibah. Namun hanya hati yang terjaga yang mampu membaca isyarat di balik kedua tirai takdir tersebut.
Ibarat seperti taman bunga yang indah, maka itulah dunia memesona siapa saja yang memandangnya. Namun siapa yang menyangka, di balik keindahan nan keelokannya, terselip duri-duri ujian yang diam-diam menggores hati dan batin kita sebagai manusia?
Sesungguhnya, hidup sejatinya merupakan medan ujian yang terbalut antara anugerah dan luka, nikmat dan juga sempit. Dalam pusaran kehidupan di dunia ini, kita sebagai manusia diuji bukan hanya melalui penderitaan saja, akan tetapi juga melalui keberhasilan dan kesuksesan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah An-Naml ayat ke-40, yang artinya;
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”
Ayat di atas mengisahkan sebuah momen yang mencengangkan akal dan pikiran kita sebagai manusia biasa, ketika logika dunia tunduk pada keajaiban langit yang bahwasanya segala kejadian luar biasa yang merupakan bagian dari takdir Allah SWT. yaitu sebuah singgasana yang agung berpindah dari satu negeri menuju ke negeri lain hanya dalam sekejap mata saja.
Bukan disebabkan oleh adanya kekuatan sihir hitam, bukan pula disebabkan oleh kecanggihan teknologi juga, melainkan oleh seorang hamba yang dianugerahi ilmu dari Kitab. Dalam sebuah keheningan yang menggema, peristiwa diatas terjadi lebih cepat daripada 1 kedipan mata, seolah langit berbisik bahwasanya ilmu yang bersumber dari wahyu Ilahi melampaui batas nalar manusia dan juga melampaui batas-batas kemungkinan yang ada di dunia.
Namun perhatikanlah bagaimana Nabi Sulaiman, A.S. menyikapi atas peristiwa tersebut. Tidak ada sorak kemenangan, tidak ada pula gegap gempita yang membahana. Yang ada hanyalah sikap tunduknya hati seorang hamba yang mengenal Tuhannya yaitu Allah SWT.
Beliau menunduk bukanlah karena merasa dirinya lemah akan tetapi karena sebenarnya tahu bahwasanya yang ada di tangannya hanyalah sebuah titipan semata yang datangnya dari Allah SWT. Beliau berkata dalam keheningan dan kesunyian jiwanya, yaitu “Ini semua merupakan karunia dari Rabbku. Dan karunia itu bukan hanya sekadar pemberian semata, melainkan sebuah ujian.”
Contoh sederhananya yaitu coba kita bayangkan seorang anak kecil yang diberi mainan mewah oleh ayahnya. Si anak ini bisa memilih yaitu membusungkan dada di hadapan kawan-kawannya, atau memeluk mainan itu dengan erat sambil berbisik di dalam hatinya berkata yaitu, “Ini merupakan hadiah dari Ayahku dan aku harus menjaganya dengan sebaik-baiknya atas hadiah yang telah aku terima.”
Demikian pula dengan nikmat-nikmat besar yang kita terima dalam menjalani kehidupan di dunia ini yaitu mulai dari kekuasaan, kedudukan, ilmu, nama baik maka semua itu sejatinya bukan milik abadi yang akan terus kita miliki, melainkan sebuah amanah yang akan ditanya di hari akhirat kelak.
Apabila nikmat yang telah kita terima dalam hidup di dunia ini tidak dikembalikan dalam bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT., maka hal tersebut bisa menjelma menjadi bara yang bisa saja membakar jiwa dan hati kita. Sebab jika nikmat yang datang dari Allah SWT. kepada kita yang tak disyukuri itu merupakan sebuah tangga menuju jalan kesombongan, dan sejatinya kesombongan merupakan jalan iblis saat menolak bersujud kepada Nabi Adam, A.S..
Sejak saat itulah, ia jatuh. Bukan hanya karena disebabkan oleh lemahnya ibadah saja, akan tetapi karena tingginya dada yang dibusungkan. Maka mulai sekarang hari harus senantiasa waspada dengan setiap nikmat yang datang kepada diri kita namun tidak dibasuh dengan penuh rasa syukur maka hal tersebut bisa berubah menjadi hujan api yang perlahan menghancurkan jiwa dan juga hati kita.
Hikmah yang dapat kita ambil yaitu sesungguhnya Allah SWT. menganugerahkan berbagai nikmat kepada kita bukan menjadi ajang untuk dipamerkan di hadapan dunia dan manusia, akan tetapi untuk menguji diri dan hati kita, apakah hati kita ini sanggup mengembalikannya kepada Allah SWT. dalam bentuk rasa syukur yang tulus dan hati yang ikhlas.
Nikmat Allah SWT. yang selalu datang kepada kita itu laksana air hujan yang turun dari langit. Ketika air hujan jatuh di tanah yang lapang dan juga bersih, maka akan tumbuh bunga-bunga kebaikan yang senantiasa harum dan juga mekar. Namun apabila air hujan jatuh pada tanah yang keras, kering, tandus dan juga angkuh, maka hanya menjadi genangan lumpur yang mengaburkan cermin hati yang bersih.
Demikian pula dengan segala nikmat yang kita rasakan, ia bisa menjadi taman yang menyejukkan jiwa dan juga hati kita, atau bahkan malahan menjadi jurang yang menenggelamkan jiwa dan hati kita, tergantung bagaimana kita menampungnya.
Maka siapa yang senantiasa bersyukur kepada Allah SWT., maka sesungguhnya telah membuka pintu langit untuk segala nikmat-nikmat yang lebih besar lagi. Dan siapa yang lalai atas pemberian nikmat dari Allah SWT., maka nikmat itu perlahan tapi pasti akan berubah menjadi ujian yang mengikis kesadaran hati kita untuk senantiasa bersyukur dan mengembalikan semuanya hanya kepada-Nya. [Alfian Hidayat]
Editor: Syukron Ma’mun