almuhtada.org – Tujuan seseorang dalam menuntut ilmu semestinya adalah untuk menghilangkan kebodohan. Semua itu karena tidak ada manusia di dunia ini yang dilahirkan sudah berilmu. Maka, agama mewajibkan kita untuk mencari ilmu sejak kita dilahirkan ke dunia ini, hingga kematian yang akan datang. Orang-orang yang tidak berusaha untuk mencari ilmu, maka ia sama saja menjerumuskan dirinya sendiri dalam kebodohan.
Allah SWT berfirman,
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur.” (Q.S An-Nahl : 78)
Dari ayat tersebut kita ditegaskan bahwa semua manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa pun. Maka, menuntut ilmu menjadi hal yang penting untuk kita memahami dunia dan tidak tersesat dalam kemaksiatan dan kekufuran. Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah memberi nasihat bahwa dalam menuntut ilmu sebaiknya diniatkan untuk menghilangkan kebodohan yang ada dalam diri kita dan juga orang lain.
Berkata Sahl Bin Abdillah At-Tustari rahimahullah, bahwa
”Tiada kemaksiatan yang lebih besar daripada kebodohan”
Lebih lanjut, Al-Hadad menyebut kebodohan sebagai pangkal mudarat dan mereka termasuk yang dilaknat berdasarkan hadits,
الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ الله، وَعَالم وَمُتَعَلِّم
Artinya : “Dunia itu terlaknat, demikian juga isi dunia kecuali zikir, orang alim, dan orang yang belajar,” (HR At-Turmudzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, At-Thabarani, dan Ibnu Asakir).
Sampai sini kita tahu bahwa sangat tidak dianjurkan untuk menjadi bodoh dan membiarkan diri kita selalu bodoh. Maka, pertama-tama kita bisa mengidentifikasi seberapa tidak bodoh nya kita.
Abu al-Laits As-Samarqandy atau Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim As-Samarqandy dalam kitabnya yang terkenal Tanbiih al-Ghaafiliin (pengingat bagi mereka yang lupa), salah satu temanya membahas tentang ciri-ciri orang bodoh. Di dalamnya, dikatakan bahwa ada 6 ciri-ciri orang bodoh.
Pertama, marah tanpa sebab. Akal dan hati yang dimiliki seseorang seharusnya dapat menjadi pengarah untuk sikap dan perilakunya.
Kedua, berbicara tanpa manfaat. Lisan diciptakan Tuhan untuk berkomunikasi dan menyampaikan sesuatu yang baik, jika digunakan untuk hal yang buruk berarti ia menyalahi itu (dengan kebodohan).
Ketiga, menempatkkan sesuatu tidak pada tempatnya. Tidak mungkin kita memberi pisau atau senjata api ke anak kecil untuk mainan, atau jalan-jalan dengan pakaian renang. Makhluk yang berakal pasti akan memikirkan itu.
Keempat, mengumbar rahasia kepada siapapun. Tidak mungkin kita seenaknya mengumbar rahasia kita atau saudara kita kepada orang lain. Orang yang berakal adalah orang yang dapat menjaga aibnya sendiri dan menjaga “amanah” sosial orang lain.
Kelima, mudah percaya kepada siapapun. Tidak selalu orang akan mengatakan sesuatu dengan benar. Maka, adanya akal adalah untuk mengecek dan memvalidasi lagi sebelum suatu hal yang disampaikan orang lain masuk dan menetap dalam akal.
Keenam, tidak mampu membedakan teman dan musuh. Seeloknya, kita dapat mengenali siapa saja orang yang dapat kita berikan respek atau cukup dihargai saja. Maka, diperlukan kemampuan untuk membaca karakter orang lain dan membaca situasi agar tidak salah dalam memberikan respon atas sikap orang lain.
Begitulah beberapa ciri-ciri orang bodoh. Untuk pengingat, manusia dilahirkan dengan tidak tahu apa pun, maka tuntutlah ilmu dan jangan minder karena kita semua memulai dari posisi yang sama. Kali ini penulis hanya ingin menyampaikan dari sisi Islam, selanjutnya penulis akan menyampaikan beberapa pandangan dari pemikir barat abad pertengahan. Insya Allah. [Abian Hilmi]