Profesionalitas dalam Hidup dengan Menjadi Bijaksana

Ilustrasi Orang tua menasehati anak kecil (ideogram.ai – almuhtada.org).

almuhtada.org – Orang tua selalu menasehati, “Hiduplah dengan bijaksana!” Namun, adakah dari kalian yang sama halnya dengan penulis merasa bingung, “Yang bijaksana itu hidup yang bagaimana?”.

Arif, berakal, bestari, cerdas, dan terpelajar adalah sinonim daripada bijaksana.

Melihat itu, apakah bisa diartikan bahwasanya menjadi bijaksana perlu melalui pendidikan sehingga merupakan orang yang senantiasa menjadi juara atau berprestasi sebagaimana ter-representasikan oleh berakal, cerdas, dan utamanya terpelajar? Penulis rasa tidak.

Barangkali untuk memahaminya bisa dilakukan dengan menerawang pada keseharian kita di mana kata itu digunakan.

Orang tua saya, tentunya kebanyakan orang tua rasa-rasanya, pernah bilang: “Gunakan uang yang kamu punya dengan bijaksana supaya kamu tidak menyesal!”

Ketika kata ‘bijaksana’ digunakan dalam kalimat dengan konteks seperti itu, maknanya menjadi lebih jelas dengan memperhatikan struktur linguistik yang menyusunnya.

Dalam konteks penggunaan uang yang dapat disesali adalah ketidakcukupan dan ketiadaannya.

Dari itu, uang yang memiliki nilai jelas dalam hidup, memberikan nilai yang jelas pula pada kebijaksanaan untuk hidup: “Jangan sampai kamu merasa tidak cukup dalam hidup ketika sampai ke ketiadaannya.”

Makna tersebut tentunya bisa meluas lagi ketika menelusuri buntut yang mengekori ketika keadaan tiada tersebut berlangsung dalam konteks penggunaan uang yang kemudian bisa diaplikasikan dalam kebijaksanaan dalam konteks kehidupan.

Penulis ingin menyerahkan pemaknaan itu kepada pembaca.

Baca Juga:  Menuju Hidup Berkualitas dengan menerapkan Halal Lifestyle

Yang kemudian ingin penulis bahas dalam artikel ini, setelah mengawalinya dengan (pembahasan) kebijaksanaan adalah mengenai pemahaman bijaksana yang saya dapatkan dari sebuah acara bincang-bincang yang membahas ‘The Things We Don’t Say: Between Gender, Emotions, and Responsibility.

Di sana, salah satu guest speaker mengangkat topik bagaimana dalam hidup harus bijaksana.

Sejauh pemahaman penulis selama mendengarkan pembicara, yang mana karena sering terkena intervensi daripada pikiran penulis sendiri yang seperti pengidap autis, menjadikan hasil dari pemikiran ini pasti tidak persis sama dengan perkataan pembicara dan karenanya sangat berkemungkinan merupakan kekeliruan berpikir, dan meskipun begitu tidak apa karena ini sejenis opini yang bisa pembaca tidak setujui.

Hidup dengan bijaksana yang membuat kebijaksanaan hidup sebagaimana yang dikatakan oleh pembicara adalah tidak senantiasa menjadi berakal maksudnya tahu mana baik dan buruk, benar dan salah, karena dengan mengutip contoh yang dikatakan pembicara, “Apakah perasaan buruk yang kamu rasakan adalah salah? Barang kali tidak.

Apakah dengan memendamnya adalah hal yang baik? Belum tentu benar.

Lantas dengan begitu apakah benar apabila kamu mempertontonkan emosi burukmu itu sehingga memperburuk keadaan di sekitarmu?”

Pertanyaan yang terakhir itu adalah yang menurut pembicara merupakan tindakan tidak profesional yang mengindikasikan ketidakbijaksanaan dalam hidup, yang mana itu tidak senantiasa menimbulkan hal yang benar dan baik ke permukaan.

Baca Juga:  BERSYUKURLAH

Melihat itu, penulis memunculkan lawan baru daripada bijaksana yaitu egois, tetapi agak-agaknya itu lebih seperti turunan opposite yang bisa dibahas di artikel lain.

Kembali ke pemaknaan, ketika tidak bisa dimaksudkan serta merta sebagai berakal seperti yang dijelaskan di atas, penulis menginisiasi dalam artikel ini dengan kecerdasan yang terpelajar, sebagaimana jika hanya cerdas saja cenderung merupakan usaha yang memudahkan diri, tetapi jika memang betul kebijaksanaan adalah yang tersebut, sudah tersebut juga penyangsian terhadapnya sebagaimana tertulis di paragraf dua.

Barangkali yang mendekati makna bijaksana adalah kata arif dan bestari.

Namun, bermakna apa kedua kata itu, penulis pun tidak yakin tahu.

Yang jelas, speaker pada acara yang penulis datangi itu mengasosiasikan kebijaksanaan dengan keprofesionalitasan.

Hal ini bisa meluas maupun menyempit permaknaannya bergantung bagaimana pembaca memandangnya dari sudut mana. []Muhammad Irbad Syariyah

Related Posts

Latest Post