Oleh: Hanifah (Mahasiswa UIN Sunan Kudus)
almuhtada.org – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan peradaban, dunia justru menghadapi krisis yang mendasar. Etika, moral, dan akhlak tidak lagi diperhatikan bahkan nilai-nilai spiritual semakin tergeserkan dengan gaya pemikiran barat.
Berita tentang kekerasan, kebohongan publik, intoleransi, dan korupsi bukan lagi hal yang mengejutkan. Di dunia maya, hujatan dan fitnah menyebar lebih cepat dari pada kebenaran. Mirisnya lagi, semua ini terjadi di era yang mengaku maju dan modern.
Namun 14 abad yang lalu, seorang manusia mulia telah menunjukkan tentang bagaimana akhlak mampu menjadi fondasi untuk perubahan besar dalam masyarakat. Ya, Rasulullah Muhammad SAW. bukan hanya seorang pemimpin agama, tetapi juga teladan akhlak paling agung yang pernah dimiliki umat manusia.
Ketika dunia saat ini kehilangan arah moral, maka akhlak Rasulullah adalah jawaban yang masih sangat relevan. Beliau diutus bukan sekedar untuk menyampaikan wahyu, tetapi juga untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Bahkan beliau pernah bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus di muka bumi ini tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Imam Baihaqi).
Krisis Akhlak Menjadi Luka Dunia Modern
Krisis yang kita hadapi saat ini bukan hanya tentang politik ataupun ekonomi, tetapi terkikisnya nilai-nilai dasar dalam kehidupan seperti kejujuran, kesabaran, empati, dan keadilan. Kemajuan teknologi tidak menjamin kemulian akhlak, justru seringkali teknologi menjadi jalur cepat dalam menyebar kebencian dan perpecahan.
Dalam kondisi seperti ini, dunia hanya membutuhkan contoh yang nyata tentang bagaimana seharusnya manusia hidup dengan cinta, bukan dengan kebencian. Namun faktanya, tidak sedikit dari mereka yang justru lebih senang menebar kebencian dengan dalih merasa dirinya yang dirugikan dan dibuat kecewa. Hal inilah yang kemudian menjadikan krisis akhlak sebagai luka yang perlu diobati.
Moralitas tidak bisa diinstal, empati tidak bisa diprogram, dan akhlak tidak otomatis muncul dari kecanggihan teknologi yang ada sekarang ini. Namun, hal-hal seperti ini tetap bisa diupgrade menjadi lebih baik. Maka disinilah pentingnya meneladani manusia terbaik dari seluruh umat manusia yang ada: Nabi Muhammad SAW.
Akhlak Nabi: Lembut dalam Perbedaan, Tegas dalam Keadilan
Seperti yang kita ketahui begitu besar cinta dan kasih sayang Rasulullah kepada umatnya. Bahkan ketika hendak kembali kepada Rabbnya pun, beliau masih saja mencemaskan keadaan umatnya. Beliau bukan hanya pribadi yang penuh kasih tetapi juga simbol kejujuran, keadilan dan simbol akhlak yang paling sempurna. Akhlak beliau bukan sekedar teori tetapi juga praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sejarah lain juga diceritakan tentang mulianya akhlak Rasulullah saat menyatukan masyarakat yang multikultural di kota Madinah. Beliau tidak pernah memaksakan kekuasannya, justru Rasulullah menyusun Piagam Madinah dan mampu menciptakan tatanan yang adil, menjamin kebebasan beragama, serta menumbuhkan rasa saling menghormati.
Rasulullah tidak menghapus perbedaan, tapi menjadikannya kekuatan. Hal ini menjadi solusi penting bagi dunia modern yang tengah bergulat dengan intoleransi dan konflik identitas.
Balas Dendam? Tidak dalam Kamus Akhlak Nabi
Peristiwa penaklukan kota Makkah (Fathul Makkah) menjadi momen penting yang menunjukkan betapa luhurnya akhlak Nabi. Kota yang menjadi tempat kelahiran manusia paling mulia ternyata juga menjadi tempat sebagian ujiannya.
Beliau diusir, dihina, bahkan berusaha dibunuh oleh kabilah-kabilah disana. Namun beliau sama sekali tidak pernah berpikir untuk balas dendam, justru memaafkan secara total ketika beliau kembali sebagai pemenang.
Dengan kuasa penuh di tangannya, Rasulullah berkata kepada penduduk Makkah:
“Pergilah kalian, sesungguhnya kalian telah bebas.” (HR. Ibnu Abbas)
Jika pemimpin saat ini bisa meneladani akhlak semacam ini, maka diplomasi, perdamaian, dan kesejarteraan masyarakat bukan lagi sekadar wacana.
Selain itu, dalam peristiwa lain saat Rasulullah dan para pengikutnya berada dalam kondisi tekanan besar di Makkah, beliau hijrah ke Thaif. Beliau berharap penduduk Thaif akan menerima risalah Islam yang dibawa.
Namun, bukan penyambutan ataupun penerimaan melainkan penghinaan dan kekerasan fisiklah yang beliau dapati. Hingga pada akhirnya malaikat Jibril turun dan menawarkan untuk mengacurkan Thaif dengan membalikkan gunung. Tetapi Rasulullah menolak tawaran tersebut.
Padahal, balas dendam adalah hal yang paling mungkin dilakukan saat itu, tetapi Rasulullah lebih memilih pengampunan dan doa. Ini bukan suatu kelemahan, tetapi kekuatan spiritual yang sangat luar biasa dengan mengubah luka menjadi penuh kasih saying.
Lalu Apa Relevansi bagi Generasi Muda?
Generasi muda saat ini tumbuh dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan sosial. Akhlak seperti kejujuran, kesabaran, dan kerendahan hati makin sulit dijumpai. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali akhlak Nabi dalam kehidupan anak muda, seperti:
- Kejujuran di tengah budaya pencitraan
- Sabar saat semua ingin serba instan
- Hormat kepada orang tua dan guru di era kebebasan berpendapat
Meneladani akhlak Nabi bukan berarti menjadi kuno. Justru itulah yang akan membuat kita tahan terhadap derasnya arus zaman. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak yang agung.”
(QS. Al-Qalam: 4)
Jadi, akhlak Rasulullah adalah solusi yang tak hilang oleh waktu. Dunia tak hanya butuh orang cerdas, tapi juga orang yang berakhlak. Rasulullah telah membuktikan bahwa perubahan besar tidak lahir dari kekerasan, tapi dari kesabaran, cinta, dan keteladanan moral.