almuhtada.org – Ada perkataan: “Masa lalu menghasilkan penyesalan, masa depan terlihat mengkhawatirkan. Hiduplah di hari ini, yang terjadi biarlah terjadi baik yang telah maupun yang akan.”
Menurutmu, adakah perlu bagi kita untuk terus berada di masa sekarang? Menikmatinya, barangkali meresapinya, atau apa yang bisa dikatakan (tentunya dalam kesadaran Saya) terperangkap di dalamnya sebagaimana kita hanya berorentasi terhadapnya.
Waktu membentang sepanjang zaman, dan ruang menjangkau segala penjuru, kita sebagai manusia yang hidup tentu akan dikenai masa sekarang entah itu kesedihan maupun haru bahagia. Ketika itu apakah boleh bagi kita untuk menghidupinya sepenuhnya, dan hanya menjalaninya seolah itu adalah satu-satunya?
Saya pernah berpikir memang seharusnya demikian sebagaimana saya mendapati masa lalu membikin penyesalan dan menjadikan keputusan-keputusan masa sekarang terhambat, apalagi masa depan yang tak kalah mengerikan.
Tapi temans, ada perkataan lain seperti ini: “Meski waktu membentang sepanjang zaman dan waktu menjangkau segala penjuru, masa depan itu seluas samudra.”
Terbaca familiar bukan, benar, itu adalah yang tertulis di paragraf sebelum sebelumnya. Hanya penambahan berapa kata, tapi beberapa kata itu mengkonstruksi makna keseluruhannya. Ditambah dalam kalimat itu sudah terdapat apa yang mungkin bisa menjadi resolusi dari konflik batin yang muncul.
Mari kita bedah. Ada dua aspek yang menjadikan kalimat itu istemewa dalam subjektifitas Saya.
- Kata ‘Meski’ yang Memperjelas Keterikatan
‘Meski’ adalah penanda klausa dependen. Ketika sebuah klausa mengandung kata ‘Meski’, maka ia perlu kalimat lain untuk menjadikannya utuh.
Kandungan makna dalam klausa ‘meski’ adalah tentang masa sekarang yang terbentuk dari segala kejadian di masa lalu sebagaimana waktu selalu membentang sepanjang zaman. Makhluk hidup juga dikenai ruang yang menjadikannya senantiasa harus eksis di dalamnya, mengalami keseluruhan ruang lingkup dirinya.
Ketika terdapat kata ‘meski’ dalam satu kalimat, maka ada pertentangan makna antara klausa. Atau bisa juga dikatakan sebuah proses kesadaran bahwa meski masa sekarang sangat signifikan sebagaimana bisa dilihat dalam keterjangkauannya terhadap kita, yaitu apa-apa yang telah terjadi dan menjadi masa kini, masa depan adalah suatu yang penting, bisa jadi lebih penting, sebagaimana ia diumpamakan seluas samudra, yang penafsirannya ada di poin selanjutnya.
- Diksi Samudra dan Kedalaman Maknanya
Apa yang menjadi fokus menarik lainnya dalam kalimat itu adalah pemilihan kata samudra untuk dijadikan metafora masa depan.
Jika kita telaah, kalimat dependen yang merepresentasikan masa sekarang dijelaskan dengan nilai-nilai nirwujud, seperti ruang dan waktu dan bagaiamana ketidakterbatasan mereka yang semakin menjelaskan ketidaktahuan kita akan konsep akhir.
Kemudian beralih ke independen yang tersorot karena keberadaan kalimat yang bergantung (dependen) kepadanya adalah pemaknaan masa depan sebagai samudra. Sesuatu yang begitu dekat dengan kita, bisa kita lihat sebagaimana ia maujud. Bagaimanapun, bentuknya yang nyata tidak menjadikan realitanya diketahui. Ia menyimpan misteri dalam kedalamannya.
Lebih lanjut, ini pemaknaan Saya yang tentu tidak absolut. Barangkali kehidupan bukan tentang trikotomi masa lalu, masa sekarang, masa depan. Ketiganya adalah satu kehidupan. Kita hidup di masa sekarang tetapi itu tidak lepas dari apa yang telah terjadi di masa lalu dan masa depan yang menjadi orientasi kita.
Lebih personal, ketika bersedih jangalah berlarut dan ketika bahagia jangan lupa diri sebagaimana tidak ada yang tahu keberlanjutan ruang dan waktu yang senantiasa mengenai kita. Boleh jadi besok ruangnya telah berubah dan nuansamu tidak lagi sama. Pun boleh jadi sepuluh detik dari sekarang waktumu terhenti. Dikatakan terhenti karena memang itu belum berakhir. [Muhammad Irbad Syariyah]