Hukum Sholat Saaat Tidak Ada Air dan Debu untuk Bersuci?

Gambar ilustasi orang yang melaksanakan sholat freepik

almuhtada.org – Bersuci merupakan salah satu syarat sahnya seseorang sebelum melaksanakan sholat, baik itu bersuci dari hadas kecil maupun hadas besar. Cara bersuci yang paling utama adalah dengan menggunakan air, baik itu untuk berwudhu maupun mandi wajib. Akan tetapi jika dalam kondisi tertentu, seseorang tidak mendapatkan air untuk bersuci maka ia diperbolehkan untuk melakukan tayamum menggunakan debu yang suci. Lalu bagaimana hukumnya jika seseorang tidak mendapatkan air dan debu untuk bersuci disaat waktu sholat fardhu telah tiba?

Seseorang yang tidak mendapatkan air dan debu untuk bersuci seperti saat berada diperahu yang tidak dapat meraih air atau ditempat najis yang tidak ia dapatkan debu untuk bersuci sementara air yang ada dibutuhkan untuk dahaganya orang yang bersamanya dan seperti orang yang sakit yang tidak dapat melakukan wudhu ataupun tayamum sebab penyakitnya atau lain sebagainya, maka mayoritas ulama tetap mewajibkan hukum sholat baginya sekedar penghormatan waktu (lihurmatil wakti).

Baca Juga:  Biografi singkat Sunan Muria dan Dakwahnya yang Menarik

Menurut kalangan Syafi’i dan Hambali Hukum sholat untuk orang-orang dalam kondisi tersebut tidak semata-mata gugur, namun baginya wajib untuk mengulangi sholat yang ia kerjakan apabila kondisinya telah memungkinkan. Akan tetapi menurut kalangan Maliki, hal tersebut tidak wajib untuk mengulangnya dan sholatnya dianggap telah gugur. Dalam kitab Raudhah at-Tholibin dijelaskan bahwa “Barangsiapa tidak mendapati air atau debu maka shalatlah sekedar menghormati waktu”.

Jadi hukum sholat bagi seseorang yang tidak menemukan air dan debu tetaplah wajib untuk dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan waktu. Namun, mengenai apakah wajib mengulangi sholatnya atau tidak setelah kondisi memungkinkan atau telah menemukan sarana untuk bersuci, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Akan tetapi sebagai bentuk kehati-hatian, maka pilihlah pendapat jumhur ulama (mayoritas) yang mewajibkan untuk mengulangi sholatnya bisa menjadi sebuah pilihan yang lebih baik.

Jika mengikuti pendapat ulama yang tidak mewajibkan untuk mengulanginya juga diperbolehkan, karena hal tersebut juga ada sandaran dalilnya. Kewenangan seseorang dalam mengikuti pendapat ulama yang diyakini ini menunjukkan betapa indahnya agama islam yang memudahkan pemeluknya dalam beribadah,tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian dan penghambaan kepada Allah SWT.

[Sahrul Mujab]

 

 

 

 

 

 

 

Related Posts

Latest Post