almuhtada.org – Dalam kehidupan beragama, kata iman sering kali diglorifikasi sebagai sesuatu yang sakral, mutlak, dan tidak boleh disentuh oleh logika. Banyak dari kita memahami iman hanya sebatas kepercayaan tanpa pertanyaan dan seolah-olah semakin buta keyakinan seseorang maka semakin kuat imannya.
Padahal jika kita menengok kembali pada akar spiritualitas Islam itu sendiri, iman tidak pernah dimaksudkan hanya sebagai dogma melainkan sebagai fondasi kokoh untuk berpikir, bertindak, dan memperbaiki kehidupan.
Sayangnya hari ini banyak umat Islam yang berhenti pada fase percaya tanpa merasa perlu untuk memahami, menggali, dan menyelami lebih dalam. Padahal Al-Qur’an sendiri dibuka dengan perintah “Iqra” yang berarti bacalah. Sebuah ajakan eksplisit agar kita menjadi umat yang berpikir, mencari tahu, dan tidak menelan sesuatu mentah-mentah.
Iman yang utuh tidak akan pernah anti terhadap ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ia akan mendorong seorang muslim untuk mencintai sains karena setiap penemuan ilmiah adalah pintu untuk mengetahui kebesaran Tuhan dengan lebih mendalam.
Selain itu, iman yang sehat akan mengajak pemeluknya untuk belajar dari sejarah. Sejarah bukan hanya kumpulan masa lalu tetapi sumber hikmah dan refleksi untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Ketika iman dikurung hanya dalam dogma, umat mudah terjebak dalam glorifikasi masa lalu dan enggan menghadapi kenyataan zaman.
Keimanan yang utuh juga melatih kita untuk memiliki manajemen risiko. Keyakinan kepada takdir bukan berarti pasrah tanpa usaha. Justru iman sejati mendorong seseorang merancang hidupnya dengan lebih bijak, mempertimbangkan kemungkinan terburuk, dan merancang langkah antisipasi.
Nabi Muhammad SAW pun menyuruh untanya untuk diikat terlebih dahulu sebelum bertawakal kepada Allah SWT dimana ini merupakan sebuah pesan jelas bahwa ikhtiar dan iman harus berjalan beriringan.
Iman yang utuh seharusnya menumbuhkan semangat perbaikan sistem. Dalam skala pribadi hingga negara, iman semestinya memotivasi kita untuk tidak berpuas diri terhadap kondisi yang ada. Ketika ada kebijakan yang tidak adil, iman menggerakkan hati untuk bersuara. Iman bukan alasan untuk pasif, tetapi ia adalah bahan bakar untuk bergerak.
Sayangnya, yang terjadi di banyak masyarakat justru sebaliknya. Iman dijadikan alasan untuk menolak sains, abai terhadap sejarah, menyepelekan perencanaan, dan malas melakukan evaluasi diri. Ini bukanlah iman yang dimaksudkan dalam kitab suci, melainkan kepercayaan tanpa arah.
Sudah saatnya kita memaknai iman tidak hanya sebagai keyakinan dalam hati, tetapi juga kesadaran yang aktif, kritis, dan terus tumbuh. Sebab, iman sejati adalah yang menjadikan kita lebih bijak, lebih belajar, dan lebih peduli pada sesama dan semesta. [] SHOLIHUL ABIDIN