Menelisik Sisi Gelap Konten Berbagi

Ilustrasi konten di media sosial (freepik.com - almuhtada.org)

Almuhtada.org – Pada era digital ini, berbagai konten media sosial telah menjadi konsumsi kehidupan sehari-hari. Mulai dari membagikan foto makanan, momen keluarga, hingga kisah pribadi yang menginspirasi.

Sekilas, semua hal tersebut memberikan sisi positif seperti saling menguatkan, menghibur, bahkan mendidik. Namun, di balik hal tersebut, ada sisi gelap yang sering luput dari perhatian.

Pertama, tak semua konten dibagikan dengan niat yang tulus, bahkan beberapa mungkin memiliki niat terselubung yang kurang baik. Misalnya saja ada konten yang sengaja dibuat demi popularitas, manipulasi emosi, atau bahkan eksploitasi.

Yang mana niat tersebut dibungkus sedemikian rupa sehingga orang banyak tak menyadari dampaknya. Salah satu contohnya yakni konten berbagi di media sosial yang direkam demi mendapatkan simpati publik atau bahkan adsense.

Padahal niat membantu seharusnya dilakukan dengan ikhlas tidak perlu direkam untuk konsumsi umum. Demikian hal Ini menimbulkan pertanyaan etis  ”Apakah kebaikan masih murni jika niatnya demi eksistensi atau bahkan kepentingan pribadi?”

Tapi sebagian dari kita juga ada yang memberikan pendapatan bahwa mungkin saja bantuan tersebut dijadikan sebuah konten untuk bisa menginspirasi banyak orang. Dan sampai saat ini masih menjadi perdebatan.

Kedua, kebiasaan berbagi berlebihan sering kali mengorbankan privasi. Banyak orang membagikan wajah anak, lokasi rumah, atau masalah pribadi tanpa sadar membuka celah bahaya.

Tak jarang kita melihat beberapa konflik yang timbul antara yang menolong dan yang ditolong, lantaran masalah privasi tersebut.

Baca Juga:  Yang Terbaik Tidak Akan Hilang, yang Hilang Berarti Bukan yang Terbaik

Kita dapat belajar dari kasus-kasus konten kreator yang terkenal karena tema berbaginya, banyak diantara mereka malah terkesan memaksa untuk memenuhi tujuan egois sendiri.

Di dunia maya yang tak sepenuhnya aman, informasi itu bisa disalahgunakan oleh penipu, pelacak digital, atau bahkan pelaku kejahatan yang bisa membahayakan orang lain. Sehingga hal ini harus menjadi perhatian bagi para pembuat konten berbagi jika memang niatnya tulus untuk menolong.

Ketiga, tren “oversharing”  bisa memicu tekanan sosial. Melihat hidup orang lain yang tampak sempurna bisa membuat orang lain merasa tertinggal, tidak cukup baik, atau iri. Padahal apa yang ditampilkan sering kali hanya potongan kecil dari realitas.

Konten berbagi memang bisa menginspirasi dan menggunggah orang lain untuk memiliki empati yang sama, tapi hal ini juga bisa melukai. Maka pandai-pandailah dalam memilih apa yang patut dipublikasikan dan apa yang sebaiknya disimpan. Dunia digital membutuhkan empati, bukan hanya impresi.

Terkahir, dampak negatif dari konten berbagi tidak hanya bisa berdampak secara langsung, tetapi juga berdampak buruk secara bertahap terhadap pembetukan mental masyarakat miskin.

Orang-orang miskin akan semakin miskin karena mental tersebut dipupuk sedini mungkin. Mereka akan selalu haus terhadap bantuan orang lain dan tidak ada usaha terhadap dirinya sendiri

Ini sangat berbahaya karena sifat konten berbagi itu bisa ditangkap secara berbeda-beda oleh setiap orang dan yang ditakutkan salah satunya mental kemiskinan.

Baca Juga:  Resensi Buku: Politik Para Teroris

Media sosial itu sangat masif penyebarannya jangan sampai anak-anak bangsa yang seharusnya memiliki semangat juang malah tumbang akibat konsumsi konten yang tak baik. [Andhika Putri Maulani]

 

Editor : Aulia Cassanova

Related Posts

Latest Post