Almuhtada.org Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan video-video dokumentasi dari anak-anak sekolah menengah atas (SMA) yang merayakan kelulusan dengan menggunakan toga ala-ala anak kuliahan. Hal ini memicu pro kontra dan perdebatan tentunya di kalangan netizen tanah air.
Banyak yang tidak setuju atau kontra dengan hal tersebut, namun tidak sedikit pula yang setuju dengan hal tersebut. Jika dilihat dari segi aturan memang sebenarnya tidak ada yang mengatur tentang penggunaan toga ini, namun banyak netizen menganggap kalau penggunaan toga di kalangan anak sma ini tidak sesuai dengan konteks pendidikannya, penggunaan toga ketika sarjana seolah kehilangan kesakralannya karena kita terbiasa melihat toga digunakan di berbagai tingkat pendidikan.
Ada pula yang membandingkannya dengan perjuangan seorang calon sarjana demi menggunakan toga di hari wisudanya seperti tidak tidur demi mengerjakan tugas, rela hidup jauh dari keluarga, rela menahan lapar demi menghemat uang saku, “petak umpet” dengan dosen pembimbing dan lain sebagainya. Yang tidak sebanding dengan anak SMA yang perjuangannya tidak sesulit ketika berkuliah.
Dilihat dari segi perekonomian, penggunaan toga ini akan membebani biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa yang mana pihak sekolah tidak mungkin untuk menyediakan toga bagi siswa-siswanya, sehingga siswa harus menyewa toga sendiri untuk digunakan pada acara perpisahan. Dimana banyak orang berpendapat bahwa seharusnya biaya untuk acara perpisahan ini ditabung saja untuk berkuliah nantinya mengingat biaya pendidikan saat ini yang tidak murah.
Penggunaan toga ini juga beresiko memicu komersialisasi pendidikan dimana ajang kelulusan yang harusnya memiliki makna mendalam malah digunakan sebagai ladang bisnis yang menguntungkan sebagian orang, banyak sekolah yang bekerjasama dengan event organizer (EO) mewah, jasa fotografi, dan sewa toga. Fokus utama pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan menanamkan karakter intelektual malah bergeser menjadi sekedar pencitraan atau penampilan saja, bahkan tidak jarang siswa lebih stress memikirkan penampilannya saat kelulusan ketimbang memaknai pendidikan itu sendiri.
Orang tua atau wali siswa menjadi dibebani oleh biaya-biaya yang tidak selalu diperlukan dari segi akademik. Secara tidak langsung, praktik semacam ini menandakan bahwa pendidikan khususnya momen kelulusan telah dijadikan komoditas konsumtif ketimbang proses transformasi intelektual dan emosional siswa. Jika tidak dibatasi secara bijak oleh sekolah atau birokrasi yang lebih tinggi, praktik ini dapat memperparah kesenjangan dan menciptakan persepsi keliru tentang apa yang sesungguhnya penting dalam dunia pendidikan.
Namun di sisi lain penggunaan toga pada acara kelulusan SMA ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi utamanya didalam dunia pendidikan yang mengedepankan hak siswa dalam berekspresi. Dikarenakan hal mengenai penggunaan pakaian ketika momen kelulusan itu berdasarkan pada kesepakatan siswa itu sendiri dan pihak sekolah hanya mengikuti apa yang siswa kehendaki pada momen kelulusan.
Pada akhirnya penggunaan toga di momen kelulusan SMA ini tidak bisa jika hanya dilihat dari satu sisi, di satu sisi memang orang tua siswa mungkin terbebani dengan adanya wisuda ini. Namun di sisi lain momen sekali seumur hidup siswa yang tidak akan terulang kembali di fase kehidupan berikutnya sehingga dirayakan dengan special termasuk penggunaan toga tadi. []MUHAMMAD NABIL HASAN
Editor : Juliana setefani usaini