Fenomena Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan dan Keagamaan yang Mengusik Kesucian

Foto suasana pesantren atau lembaga keagamaan dengan latar suasana belajar yang hening, menampilkan pelajar yang sedang membaca kitab. Gambar ini melambangkan pentingnya menciptakan ruang aman di lingkungan keagamaan.freepik.com

Almuhtada.org-Akhir-akhir ini, banyak perhatian publik tertuju pada maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan baik lingkungan pendidikan maupun lembaga keagamaan. Tempat yang selama ini dianggap sakral dan aman justru menjadi lokasi terjadinya pelanggaran terhadap integritas dan martabat manusia. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah lembaga pendidikan dan keagamaan benar-benar menjalankan fungsi moralnya?

Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang Januari hingga Agustus 2024, terjadi delapan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan di bawah Kementerian Agama. Lebih menyedihkan lagi, 69% korbannya adalah anak laki-laki dan mayoritas pelaku adalah guru laki-laki. Di saat yang sama, Kemenag juga mencatat sebanyak 101 santri menjadi korban kekerasan seksual di pesantren.

Baca Juga:  Memaafkan Orang Lain Itu Susah? Tapi Inilah Plot Twist Nya!!

Sebagai respon terhadap kondisi ini, Kemenag menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 91 Tahun 2025 untuk mendorong terciptanya lingkungan pesantren ramah anak. Namun, langkah tersebut belum cukup jika tidak dibarengi dengan perubahan budaya yang lebih mendalam.

Walaupun Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), implementasinya di lapangan masih menemui banyak kendala. Komnas HAM menyoroti budaya patriarki dan kecenderungan menyalahkan korban sebagai penghalang utama. Banyak korban yang enggan melapor karena takut akan stigma atau tidak mendapat perlindungan yang layak.

Selain itu, kekurangan tenaga profesional dan minimnya dukungan psikososial membuat korban semakin terpinggirkan. Oleh karena itu, perlu ada kerja sama lintas sektor untuk memperkuat perlindungan terhadap korban dan memastikan keadilan ditegakkan.

Agama, secara ideal, memiliki peran besar dalam membentuk nilai moral masyarakat. Dalam Islam, misalnya, kekerasan seksual adalah dosa besar yang sangat dilarang. Namun dalam praktiknya, lembaga keagamaan justru kerap menjadi tempat terjadinya pelanggaran itu.

Baca Juga:  Dua Nikmat yang Sering Dilalaikan, Apa saja itu?

Sudah saatnya lembaga pendidikan dan keagamaan melakukan refleksi dan tidak lagi bersikap defensif ketika kasus mencuat. Menyembunyikan pelaku demi menjaga nama baik lembaga hanya akan memperburuk luka yang dialami korban dan mencederai misi suci agama.

Agar lembaga pendidikan dan keagamaan bisa kembali menjadi ruang aman, berikut beberapa langkah yang bisa ditempuh:

•Mengadakan edukasi tentang kekerasan seksual bagi pendidik dan santri

•Membuat sistem pelaporan yang aman dan berpihak pada korban

•Menjalin kerja sama dengan lembaga bantuan hukum dan psikologi

•Menanamkan nilai kesetaraan dan penghormatan terhadap hak individu sejak dini

Kekerasan seksual di lembaga pendidikan dan keagamaan bukan hanya persoalan kriminalitas, tapi juga kegagalan institusi moral dalam melindungi umatnya. Sudah waktunya semua pihak—terutama pemimpin agama—mengambil peran aktif dalam menciptakan lingkungan yang benar-benar aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan. [Rani Alfina Rohmah]

 

 

Related Posts

Latest Post