almuhtada.org – Siang itu yang terdengar ialah suara riuh dari tribun penonton. Bendera-bendera kecil berkibar seperti ombak merah putih, diiringi dentuman drum dan sorak-sorai membahana, meneriakkan satu nama “INDONESIA!”.
Di tengah riuh yang mengema, Raya berusaha mengatur nafasnya kembali, sementara seorang tenaga medis menempelkan gumpalan es yang dibalut dengan kain ke matanya yang lebam. Pada ronde sebelumnya ia sempat menerima serangan tak terduga dari lawannya-sebuah pukulan tak sengaja mendarat di area matanya, meninggalkan rasa nyeri yang menusuk dan membuat pandanganya sedikit buram. Namun itu tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap melanjutkan pertandingan.
Matanya terpejam sejenak. Ia menarik nafas panjang, membiarkan kenangan lamanya menyeruak ke permukaan. Ingatanya melayang jauh-kembali ke masa ketika ia baru berusia sepuluh tahun, tepat di halaman rumahnya, sang ayah mengajarkan langkah pertama pecak silat.
“Ini bukan sekedar bertanding,” bisik Raya pada dirinya. “Ini tentang siapa aku. Ini tentang tanah airku!”
Wasit memberi aba-aba untuk mendekat ke tengah arena pertandingan, menandakan bahwa waktu istirahat telah usai. Ini adalah ronde terakhir dalam final-ronde penentuan, di mana segalanya dipertaruhkan.
Bersama dengan pandangan yang sedikit buram, ia melangkah ke tengah arena pertandingan. Di seberang, lawanya sudah bersiap, tubuhnya yang tinggi tegap dengan sorotan mata tajam penuh percaya diri. Tapi Raya tahu, ia tidak datang sejauh ini hanya untuk menyerah. Dibalik luka di tubuhnya, ada semangat dari seorang laki-laki paruh baya yang selalu menemani pertandingannya (sang ayah).
Pertandingan dimulai.
Raya mengambil sikap kuda-kuda, siap untuk memberi dan menerima serangan. Setiap detik di ronde ini bukan hanya soal teknik, tapi soal perjuangan. Tendangan demi tendangan dilayangkan, serangan dan pertahanan saling bertukar, keringat mengucur deras, nafasnya mulai terengeh, Raya semakin kuwalahan bersama dengan pandangannya yang semakin buram.
Ketika waktu sudah hamper habis, ia melihat celah-kecil namun cukup. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Raya melayangkan tendangan A Cobra-nya. Tendangan jatuh tepat di area dada lawannya. Dentuman terdengar. Lawan terjatuh.
Wasit menghentikan pertandingan. Sejenak, keheningan menyelimuti arena. Tubuhnya sedikit bergetar saat matanya terpaku pada papan skor, angka-angka yang terpampang jelas menunjukkan keunggulan yang tipis. Hanya selisih 6 poin, namun cukup untuk memastikan satu hal, ialah pemenangnya.
Suara gemuruh mulai muncul dari tribun, lalu meledak menjadi sorak-sorai yang menguncang. Wasit mengangkat tangannya, isyarat kemenangan yang selalu ia nantikan disetiap pertandingan. Seketika lautan suara menerikan satu nama penuh semangat dan kebanggaan: “INDONESIA! INDONESIA! INDONESIA!”
Air matanya mengalir, bukan karena sakit, namun karena bahagia yang tak tertahankan-sebuah kebahagiaan yang hanya bisa ia rasakan setelah menaklukan rasa sakit, takut, dan terkadang penuh dengan keraguan. Ia berlari, bukan dengan langkah yang ringan, namun penuh semangat yang menyala-nyala, menuju pelatihnya-sosok yang selama ini selalu mempercayainya bahkan ketika ia meragukan dirinya sendiri.
Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil selembar kain merah putih-lambang perjuangan dan harapan-lalu segera berlari mengelilingi arena pertandingan. Sambil berlari, ia mengibarkan kain itu setinggi-tingginya, membiarkan menari di udara, seolah ikut merayakan kemenangannya. [Dela Kurniawati]