almuhtada.org – Qunut merupakan doa yang dibaca dalam shalat, khususnya pada shalat Subuh. Di Indonesia, kita sering menemui fenomena di mana imam membaca Qunut dengan suara keras di awal, namun merendahkan suaranya saat mencapai lafadz ‘Fainnaka Taqdi…’. Mengapa demikian ?
Menurut pandangan yang umum di kalangan ahli bahasa, Qunut memiliki makna utama sebagai doa. Namun, istilah ini juga mencakup berbagai makna lain, seperti ketaatan, kekhusyukan, shalat, ibadah, berdiri, dan diam. Dalam Kitab al-Adzkar oleh Imam Nawawi disebutkan sunnah muakkad hukumnya membaca doa qunut Subuh. Salah satu hadits yang mendasari kesunahan membaca doa Qunut Subuh ini sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika shalat Subuh sehingga beliau wafat.’” (HR Ahmad)
Qunut merujuk pada doa yang dibaca di waktu tertentu, seperti pada shalat Subuh dan shalat Witir di paruh kedua Ramadhan. Di Indonesia, fenomena di mana imam membaca Qunut dengan suara keras di awal, namun merendahkan suaranya saat mencapai lafadz ‘Fainnaka Taqdi…’ sering terjadi. Hal ini berkaitan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai tata cara membaca Qunut.
Dilansir dari NU Online, Syekh Zakaria Al-Anshari menjelaskan dalam kitab Asnal Mathalib:
وَأَنَّهُ يَقُولُ الثَّنَاءَ سِرًّا وَهُوَ مِنْ فَإِنَّك تَقْضِي إلَى آخِرِهِ، أَوْ يَسْتَمِعُ لَهُ لِأَنَّهُ ثَنَاءٌ وَذِكْرٌ لَا يَلِيقُ بِهِ التَّأْمِينُ وَالْمُشَارَكَةُ أَوْلَى كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ، وَالثَّانِي يُؤَمِّنُ فِيهِ أَيْضًا، وَإِذَا قُلْنَا بِمُشَارَكَتِهِ فِيهِ فَفِي جَهْرِ الْإِمَامِ بِهِ نَظَرٌ، يُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ: يُسِرُّ بِهِ كَمَا فِي غَيْرِهِ مِمَّا يَشْتَرِكَانِ فِيهِ، وَيُحْتَمَلُ وَهُوَ الْأَوْجَهُ الْجَهْرُ بِهِ كَمَا إذَا سَأَلَ الرَّحْمَةَ أَوْ اسْتَعَاذَ مِنْ النَّارِ وَنَحْوِهَا فَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ وَيُوَافِقُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ وَلَا يُؤَمِّنُ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوعِ
Artinya, “Ungkapan: “Dia turut serta dalam membaca puji-pujian …” Jika kita katakan bahwa makmum turut serta dalam membaca puji-pujian bersama imam, maka hukum imam membaca puji-pujian dengan suara keras ada pertimbangan.
Yaitu ia membaca lirih, seperti halnya pada dzikir lain yang sama-sama dibaca oleh imam dan makmum; dan boleh jadi ia mengucapkan puji-pujiannya dengan lantang, seperti saat dia meminta ampun, atau mencari perlindungan dari Neraka dan semisalnya, sungguh imam mengucapkannya dengan lantang. Sementara makmum membaca bacaan yang sama dan tidak membaca “amin”, seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi dalam Syarhul Muhaddzab.
1. Pendapat Membaca Jahr (Keras) Sepanjang Qunut
Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa bacaan Qunut sebaiknya dilakukan dengan suara keras dari awal hingga akhir. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, di mana Rasulullah SAW berdoa dengan mengangkat suara saat mendoakan kebaikan dan keburukan setelah ruku’. Rasulullah SAW bersabda:
“Ya Allah, selamatkanlah al-Walid ibnu al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, kuatkanlah siksaanMu atas Mudhar. Jadikanlah balasanMu iu bertahun tahun seperti tahun tahun Yusuf.’Dan belia mengeraskan bacaan tersebut/” (HR. Bukhari).
2. Pendapat Membaca Sirr (Pelan) pada Bagian Tertentu
Sebagian ulama Syafi’iyyah lainnya, seperti Imam Ramli dan Imam Al-Ghazali, berpendapat bahwa pada lafadz ‘Fainnaka Taqdi…’ bacaan imam sebaiknya direndahkan atau dibaca dengan sirr (pelan). Hal ini karena bagian tersebut bukanlah doa, melainkan dzikir, pujian, dan sanjungan kepada Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa bagian ini lebih baik dibaca secara pelan untuk menjaga kekhusyukan dan adab dalam memuji Allah.
Perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari keilmuan Islam yang kaya. Umat Islam bebas memilih untuk mengikuti pendapat yang diyakini sesuai dengan keyakinan dan kemampuan masing-masing. Baik membaca Jahr sepanjang Qunut maupun melakukan sirr pada bagian tertentu, Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat lebih menghargai keragaman dalam pelaksanaan ibadah dan menjaga persatuan umat Islam. [Fitri Novita Sari]
Editor: Syukron Ma’mun