Almuhtada.org – Dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, hubungan antara manusia dan Tuhan telah menjadi tema diskusi yang mendalam di kalangan ulama dan sufi. Mazhab Hanafi, khususnya dalam tradisi Maturidiyah, menekankan bahwa Tuhan adalah entitas yang transenden, melampaui batasan akal dan imajinasi manusia. Tuhan tidak bisa dijangkau oleh konsep-konsep duniawi, tidak memiliki bentuk, dan berada di luar ruang serta waktu.
Namun, di sisi lain, Jalaluddin Rumi, seorang penyair dan sufi besar, menawarkan pendekatan yang berbeda dalam memahami Tuhan. Baginya, pencarian spiritual bukan hanya tentang memahami ketakterjangkauan Tuhan, tetapi juga merasakan kehadirannya melalui cinta dan pengalaman mistis.
Rumi memandang semesta sebagai getaran yang bersatu dengan Sang Ilahi. Pencarian manusia terhadap Tuhan bukan sekadar pertanyaan teologis, melainkan perjalanan batin yang kaya dengan refleksi dan pengalaman spiritual. Ia berpendapat bahwa dunia ini hanyalah bentuk, sedangkan di baliknya terdapat substansi yang lebih esensial. Namun, untuk mencapai substansi itu, manusia tetap harus menghargai bentuk yang ada.
Berbeda dengan sebagian kaum sufi yang menolak praktik ritual agama, Rumi justru menegaskan pentingnya bentuk dan aturan dalam Islam. Ia melihat ibadah sebagai sarana yang membantu manusia untuk meraih esensi ketuhanan, bukan sekadar ritual yang kosong makna. Bagi Rumi, cinta merupakan inti dari Tuhan. Ia meyakini bahwa cinta bukan sekadar perasaan, tetapi juga jalan menuju kesatuan dengan Tuhan (wahdat al-wujud). Dalam ajarannya, cinta yang sejati tidak hanya berada dalam hubungan sosial, melainkan juga dalam dimensi spiritual yang lebih dalam. Rumi menggambarkan perjalanan spiritual ini sebagai panggilan cinta, di mana manusia yang mencintai Tuhan sejatinya sedang merespons cinta Tuhan kepada dirinya. Dalam proses ini, seorang pecinta sejati (ashiq) dapat mencapai kemuliaan spiritual yang melampaui segala keduniawian.
Dalam praktik sufisme, zikir bukan sekadar pengucapan kata-kata pujian kepada Tuhan, tetapi juga merupakan bentuk perenungan mendalam terhadap kehendaknya. Rumi menekankan bahwa melalui zikir yang tiada henti, seseorang dapat mencapai muraqabah kesadaran penuh akan Tuhan dalam setiap aspek kehidupannya. Kesadaran ini akan membawa seseorang pada ma’rifah, yaitu pengetahuan hakiki tentang Tuhan yang mampu mengubah cara pandangnya terhadap dunia dan dirinya sendiri. Dengan demikian, indra dan hati yang sebelumnya terikat pada hal-hal material akan sepenuhnya beralih kepada Tuhan. Meskipun pemikirannya dalam sufisme sangat mendalam, Rumi tetap teguh pada ajaran Islam. Ia melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh, termasuk puasa, membaca Al-Qur’an, dan mendalami hadits. Baginya, Islam bukan sekadar kumpulan aturan, tetapi jalan yang penuh cinta dan makna menuju Tuhan.
Rumi juga menghormati Rasulullah Muhammad sebagai sosok agung yang tak tertandingi oleh para sufi. Ia sering berdiskusi tentang Al-Qur’an dengan gurunya, Shams Tabrizi, dan menempatkan ajaran Nabi sebagai dasar spiritualnya. Dalam perjalanan spirituilnya, Rumi mencapai pemahaman bahwa Tuhan tidak terikat pada dogma atau batasan agama tertentu. Agama hanya merupakan sarana yang digunakan manusia untuk mendekat kepadanya. Bagi Rumi, Tuhan selalu hadir dalam setiap detak jantung dan hembusan napas, seperti melodi cinta yang terus bergaung dalam diri manusia.
Melalui cinta, zikir, dan kesadaran spiritual, manusia dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan. Cinta yang sejati tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia, tetapi juga menciptakan ikatan yang kuat antara jiwa dengan Sang Pencipta. Rumi mengajak kita untuk menyelami kedalaman hati, menemukan cahaya Ilahi di dalam diri, dan kembali kepada Tuhan dengan penuh kesadaran dan cinta. [] Vika Rizky Lestari