Almuhtada.org -Sebagai seorang muslim menghimpun rasa takut dan harap kepada Allah SWT adalah hal yang sepatutnya kita lakukan. Para ulama mengibaratkan dua hal tersebut bagai dua sayap bagi burung. Keduanya harus dalam keadaan seimbang, tidak dominan pada salah satunya, agar sang burung dapat terbang dengan benar.
Keseimbangan antara rasa takut dan harap kepada Allah SWT sangat penting agar seorang Muslim tetap berada di jalan yang lurus, tidak terjerumus dalam keputusasaan ataupun kelalaian.
Dalam salah satu ceramahnya, Syaikh Sa’ad Al-Khatslan berkata “Apabila seseorang lebih condong ke rasa takut kepada Allah SWT maka bisa jadi ia akan terjerumus dalam rasa putus asa kepada rahmat Allah SWT, sedangkan apabila seseorang lebih condong pada rasa harap kepada Allah SWT maka bisa jadi ia akan terjerumus dalam rasa aman dari makar Allah SWT. Padahal kedua hal tersebut tercela : putus asa dari rahmat Allah dan aman dari makar Allah.”
Oleh karenanya, menjaga keseimbangan diantara keduanya patut kita perhatikan. Keseimbangan ini dapat kita wujudkan dengan menjaadi seseorang yang memiliki rasa harap sekaligus takut kepada Allah SWT. Berharap mendapatkan rahmat, karunia, dan pahala besar di sisi Allah SWT yang telah disiapkan kepada hamba-Nya yang beriman sekaligus takut terhadap siksaan pedih Allah SWT serta takut apabila amalannya tidak diterima oleh Allah.
Hadirnya rasa takut kepada Allah merupakan wujud kesadaran akan kebesaran-Nya, keadilan-Nya, serta hukuman bagi orang-orang yang berbuat dosa. Bahkan sahabat Nabi SAW pun masih merasa takut pada Allah apabila amalannya tidak diterima, meski mereka tergolong orang yang sholeh dengan banyak amalan besarnya.
Al-Bukhari berkata dalam kitab ash-Shahih, bahwa Ibnu Abi Mulailah berkata :
“Aku berjumpa dengan 30 sahabat Nabi SAW mereka semua takut akan adanya sifat kemunafikan dalam diri mereka.” Mereka melakukan amalan-amalan besar namun tetap khawatir itu semua tidak diterima, mereka takut menyamai orang munafik.
Rasa takut ini bukan berarti menjauh dari Allah, tetapi justru menjadi motivasi untuk semakin mendekat kepada-Nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Rasa takut perlu kita condongkan dalam keadaan sehat dan mampu agar kita tidak lalai dalam beribadah, merasa terlalu percaya diri dalam ibadah hingga muncul sifat riya’ atau ujub, ataupun kita condongkan ketika ada niatan dalam diri kita untuk bermaksiat.
Adapun rasa harap kepada Allah ialah keyakinan bahwa rahmat dan ampunan-Nya sangat luas, bahkan bagi hamba yang penuh dosa. Rasa harap ini mendorong seseorang untuk terus berbuat baik, bertobat, dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya.
Keseimbangan harap dan takut ini memanglah diutamakan, namun ada beberapa pengecualian salah satunya ketika sakaratul maut. Ketika akan meninggal dunia para ulama berkata bahwa dianjurkan untuk lebih condong pada sangkaan baik kepada Allah SWT. Sebagaimana hadist yang disampaikan Rasulullah SAW:
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَ
“Janganlah seseorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan bersangka baik kepada Allah SWT.” (HR. Muslim)
Keadaan tersebut menganjurkan kita untuk menonjolkan rasa harap dan berbaik sangka kepada Allah SWT dan mengesampingkan rasa takut pada-Nya. Dengan demikian, keseimbangan antara takut dan harap juga perlu diperhatikan dalam hal penerapannya, usahakan agar kita tidak terlalu condong hanya pada salah satunya diluar pengecualian yang memperbolehkan kita condong dalam salah satu hal tersebut. Condong hanya pada rasa takut atau rasa harap pada Allah SWT dapat menimbulkan keputus asaan atau rasa aman yang berlebih. [] Rezza Salsabella Putri