almuhtada.org – Mencari secercah cahaya akan makna hidup yang sering kali tersamarkan oleh ambisi, kelelahan, dan kebisingan dunia. Kita berlari tanpa tahu ke mana arah yang benar, terjebak dalam perlombaan yang seolah tiada akhir. Dunia yang fana beserta tantangan dan godaannya menciptakan sebuah perlombaan tiada henti di antara sesama. Hasrat untuk selalu menjadi nomor satu sering kali membuat manusia menghalalkan segala cara. Sahabat, teman, bahkan keluarga bisa tergeser oleh ambisi yang penuh ilusi. Benar dan salah kini menjadi kabur, tertutupi oleh distraksi dan ambigunya peraturan. Saling menghakimi telah menjadi hal yang lumrah di zaman yang semakin tak tentu arah.
Lantas, hidup macam apa ini? Hidup bukan sekadar makan dan tidur, tetapi tentang makna dan dampak yang harus kita ciptakan. Untuk apa menjadi hebat jika tidak bermanfaat? Kepintaran saja tak cukup; luruskan niat dan bertanyalah tentang makna sejati dari kehidupan. Aku, kamu, dan mereka mungkin berbeda, tapi apakah itu salah? Tidak. Rasio dan rasa harus berjalan berdampingan agar hidup tak kehilangan arah. Kekuatan fisik bukan jaminan untuk tidak runtuh di kemudian hari. Doa yang kita panjatkan siang dan malam bisa saja tak sampai, terhalang oleh dosa dan tangis mereka yang tersakiti oleh perbuatan kita.
Kita memang harus menatap ke atas, tetapi jangan lupa untuk menunduk dan menyadari bahwa kerendahan hati itu perlu. Mengapa hidup terasa seperti ini? Aku bahkan tak terbayang jika detik ini aku dipanggil oleh Tuhanku. Sajak yang indah mungkin bisa memotivasi pembaca, dan bukankah itu sesuatu yang baik? Tulisan sederhana ini hanyalah rangkaian kata dengan sedikit makna, namun mungkin cukup untuk menyadarkan bahwa aku bukanlah apa-apa.
Namun, apakah salah jika orang lain tampak lebih hebat dariku? Sekali lagi, tidak. Tidak semua orang dilahirkan untuk menjadi nomor satu, karena nomor satu ada justru karena ada angka-angka lain yang menyertainya. Kita sering merasa bisa melakukan segalanya sendiri, tetapi sebagai makhluk sosial, kita seharusnya tidak demikian. Mandiri itu perlu, tetapi individualisme yang berlebihan hanya akan menjauhkan kita dari esensi kemanusiaan.
Sajak demi sajak ini mungkin belum sempurna. Suatu saat nanti, aku akan membacanya kembali dengan suasana dan pemahaman yang berbeda. Mengapa? Karena hidup terus berjalan, tumbuh, dan berubah, dan akupun begitu. Langkah kecil ini ingin seperti mereka yang telah mengarungi dunia, mengenal tempat-tempat baru, dan menggenggam impian mereka.
Aku mencoba menyusun diksi yang indah, tetapi nyatanya hanya keluh kesah yang tertuang. Tak apa, namanya juga belajar. Bukankah ChatGPT dan kecerdasan buatan bisa membantu? Tentu, tetapi itu akan menjadi kosong jika aku terus-menerus bergantung padanya. Kesalahan dan ketidaksempurnaan adalah awal dari perjalanan menuju kebijaksanaan. Banyak orang hebat pun pernah salah langkah sebelum mereka mencapai puncaknya.
Aku ingin menjadi seperti mereka. Langkah kecil ini tak boleh curang, tak boleh mencari jalan pintas tanpa makna. Aku rasa cukup sampai di sini. Semoga tulisan ini membawa kebaikan, meskipun aku masih tertawa kecil saat membacanya ulang. Lagi dan lagi, tak apa. Aku bukan penulis hebat dengan deretan buku tebal sebagai bacaan, tetapi diksiku yang sederhana ini tetap memiliki makna. Dan kau yang mengenalku, pasti tahu bahwa pesan indah itu ada di antara kata-kata ini.
Jika hidup adalah perjalanan, maka setiap langkah adalah pelajaran. Tidak semua luka berarti akhir, justru dari sanalah awal kebijaksanaan lahir. Kita mungkin jatuh, kita mungkin tersesat, tetapi selama kita memiliki tekad, jalan itu akan selalu terbuka. Tak perlu terburu-buru, karena setiap orang punya waktunya masing-masing. Yang terpenting adalah tetap berjalan, meskipun perlahan, sebab yang diam akan tertinggal, dan yang terus berusaha akan menemukan cahaya di ujung jalan.[Ahmad Firman Syah]
Editor: Syukron Ma’mun