Almuhtada.org – Wahshi (وحشي, yang berarti “yang buas” atau “Yang Liar”) telah ditunjuk oleh Hind binti Utbah untuk membunuh salah satu dari tiga orang (Muhammad, Ali ibn Abi Thalib, atau Hamza ibn ‘Abd al-Muttalib) agar ia dapat membalas kematian ayahnya pada Perang Badar.
Setiap jiwa melakukan kesalahan pada dirinya sendiri dalam satu atau lain cara, tetapi ada harapan bagi siapa saja yang membuka lembaran baru, untuk mencari pengampunan dan menebus kesalahan…
Jangan takut, kata mereka. Nabi tidak menyakiti utusan. Tersebutlah suatu kisah ketika Wahshi Ibnu Harb (ra) menemani delegasi yang dikirim dari Taif.
Wahshi (ra) tahu dia telah melakukan kesalahan. Dengan tangan dan tombaknya sendiri, paman Nabi, Hamzah (ra), tewas di Uhud.
Namun ketika dia membuat kesepakatan dengan Jubayr ibn Mut’im, dia tidak menyadari besarnya tindakannya, kecuali bahwa itu adalah nyawa demi nyawanya – sebuah sarana menuju kebebasannya.
Namun ketika kesadaran mulai meresap dan Islam menyebar hingga ke Makkah, Wahshi(ra) segera melarikan diri ke Taif untuk mengungsi.
Namun betapa menyesalnya dia saat ini berdiri di hadapan Nabi, sangat ingin memeluk agamanya.
Dia berkata, “Apakah kamu Wahshi?”
“Ya,” jawabnya pelan.
Nabi bertanya: “Apakah kamu yang membunuh Hamzah?”
Rasa dingin menggigil menjalari tulang punggungnya. Wahshi (ra) menundukkan kepalanya. “Apa yang terjadi adalah apa yang diberitahukan kepadamu.”
Kendati demikian, Nabi yang penuh belas kasihan menyambut dan menerima Islam Wahshi (ra) dengan segala kesalahan masa lalu diampuni.
Namun pun sang Nabi tidak lain dari seorang manusia yang tengah berduka atas seorang Pamannya. Perlu waktu untuk menyembuhkan.
Hal yang dipikir terbaik bagi mereka berduka mungkin ialah saling asing. Nabi bersabda kepada Wahshi (ra); “Bisakah kamu menyembunyikan wajahmu dariku?” [Bukhari]
Demikian Wahshi (ra) selalu mewanti-wanti eksistensinya dari sekitar Nabi. Namun pasir waktu yang menyembuhkan segera digantikan oleh wafatnya Nabi dan bersamaan dengan itu datanglah fitnah besar; topeng di sekitar mereka perlahan meluruh menguak di antaranya para penghianat.
11 pasukan dikerahkan oleh Khalifah Abu Bakar (ra) ke seluruh Arabia untuk mengekang suku-suku pemberontak yang menolak membayar zakat atau yang lainnya, yang mengaku kenabian.
Taif termasuk di antara mereka yang setia kepada Nabi, begitu pula Wahshi Ibn Harb(ra), yang teguh dalam agama. Meskipun dosa-dosanya di hadapan Islam telah diampuni, hati nurani Wahshi (ra) sangat membebani jiwanya.
Kesempatan tidak ia sia-siakan untuk menebus kesalahan. Dia melawan Musaylamah si pembohong, nabi palsu. Bergabung dengan pasukan Khalid Ibn al Walid (ra), dia berangkat ke Yamama.
Setelah mengalahkan mereka di medan perang, Wahshi (ra) menemukan Musaylamah dalam keadaan acak-acakan, mulutnya berbusa karena marah, dan bersembunyi di taman.
Wahshi (ra) melepaskan tombaknya dan memukul dadanya di hadapan seorang Ansari di sampingnya yang sama bersemangatnya untuk menerkam.
Demikian pula Wahshi Ibnu Harb (ra) membunuh salah satu orang terbaik di zaman Jahiliyyah; bersama dengan tombak ia gunakan menebas orang-orang terburuk pada masa Islamnya dan menebus dirinya sendiri. [] Risqie Nur Salsabila
Editor : Moh. Aminudin