Almuhtada.org – Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beraga Islam tentu menjadikannya memiliki berbagai tradisi yang berkaitan dengan keagamaan salah satunya halal bihalal.
Istilah halal bihalal akrab dengan pemaknaan tentang kegiatan saling bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri. Halal bihalal dilakukan sebagai sarana menjalin tali silaturahmi dan berkomunikasi.
Pada praktiknya di masyarakat terdapat tradisi yang berbeda setiap daerahnya, namun masih memiliki makna yang sama.
Lalu bagaimana hakikat makna halal bihalal? Merujuk pada analisa Quraish Shibab istilah halal bihalal memiliki tiga arti.
- Ditinjau dari segi hukum
Istilah halal merupakan lawan dari kata haram. Haram dapat dimaknai sebagi suatu aktivitas yang apabila seorang mukalaf melakukan akan mendapat dosa.
Dari pengertian tersebut jika dikaitkan dengan istilah halal bihalal maka akan timbul pemahaman bahwa seorang yang melakukan halal bihalal akan terbebad dari dosa.
Namun jika dilihat dari segi hukum ini memiliki kelemahan. Bahwa dalam perkara yang halal terdapat cakupan makruh. Maknanya bahwa sesuatu yang makruh merupakan suatu yang boleh dilakukan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kurang tepat jika istilah halal bihalal dikaitkan dengan masalah hukum, karena tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar sesama
- Ditinjau dari sisi linguistik
Apabila ditinjau dari segi linguistik halal berasal dari kata halla atau halala. Makna halla yaitu menyelesaikan kesulitan, meluruskan benang kusut, dan mencairkan yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Berdasarkan makna tersebut makna halal bihalal jika ditinjau dari segi linguistik akan memberikan pemahaman bahwa seseorang menginginkan adanya sesuatu yang mengubah hubungannya yang keruh menjadi jernih, yang beku menjadi cair dan yang terikat menjadi bebas
- Ditinjau dari sudut pandang Al Qur’an
Kata halal dalam Al-Qur’an ditemukan sebanyak 6 ayat yang meliput 5 surah. 2 diantaranya dirangkai dengan kata haram yang mengemukakan konteks kecaman. Lalu 4 ayat disanya dirangkai dengan kata “makanlah” dan kata “yang baik”.
Sebagaimana dalam Q.S Al- Baqarah: 168 yang arinya “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halaldan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Pada ayat ini, IbnuKatsir menjelaskan bahwa dalam Q.S Al-Bawarah:168 Allah memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk mengkonsumsi makanan yang baik atas rezeki yang Allah berikan agar mereka senantiasa dianggap bersyukur atas rezeki Allah yang diberikan kepadanya.
Fakhruddin al-Razi memaknai kata halal pada QS. al-Baqarah (2): 168 di atas dengan arti sesuatu yang cara memperolehnya dan wujud barangnya harus dibenarkan oleh syariat. Sedangakan makna thayyibpada ayat tersebut adalah lawan dari khabits yang berarti jelek atau. Makna thayyib adalah perkara yang secara akal dan fitrah dianggap suci dan baik.
Dengan demikian didapati pemahaman bahwa halal yang dituntut di dalam al-Qur’an ialah halal yang thayyib–halal yang baik lagi menyenangkan.
Dengan kata lain, al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan semua pihak.
Hal inilah yang menjadi sebab mengapa al-Qur’an tidak hanya menuntut dari seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi lebih penting dari itu yaitu berbuat baik kepada orang yang pernah melakukan kesalahan padanya. [] Khariztma Nuril Qolbi
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah