Hakikat Makna Halal Bihalal

halal bihalal saat hari raya idul fitri
Gambar ilustrasi halal bihalal saat hari raya idul fitri (Freepik.com - Almuhtada.org)

Almuhtada.org – Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beraga Islam tentu menjadikannya memiliki berbagai tradisi yang berkaitan dengan keagamaan salah satunya halal bihalal.

Istilah halal bihalal akrab dengan pemaknaan tentang kegiatan saling bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri. Halal bihalal dilakukan sebagai sarana menjalin tali silaturahmi dan berkomunikasi.

Pada praktiknya di masyarakat terdapat tradisi yang berbeda setiap daerahnya, namun masih memiliki makna yang sama.

Lalu bagaimana hakikat makna halal bihalal? Merujuk pada analisa Quraish Shibab istilah halal bihalal memiliki tiga arti.

  1. Ditinjau dari segi hukum

Istilah halal merupakan lawan dari kata haram. Haram dapat dimaknai sebagi suatu aktivitas yang apabila seorang mukalaf melakukan akan mendapat dosa.

Dari pengertian tersebut jika dikaitkan dengan istilah halal bihalal maka akan timbul pemahaman bahwa seorang yang melakukan halal bihalal akan terbebad dari dosa.

Namun jika dilihat dari segi hukum ini memiliki kelemahan. Bahwa dalam perkara yang halal terdapat cakupan makruh. Maknanya bahwa sesuatu yang makruh merupakan suatu yang boleh dilakukan.

Berdasarkan  pertimbangan  tersebut  maka kurang  tepat  jika  istilah  halal  bihalal  dikaitkan  dengan  masalah  hukum,  karena  tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar sesama

  1. Ditinjau dari sisi linguistik

Apabila ditinjau dari segi linguistik halal berasal dari kata halla atau halala. Makna halla yaitu menyelesaikan kesulitan, meluruskan benang kusut, dan mencairkan yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Baca Juga:  Ketahuilah! Ini 5 Tipe Wanita yang Digambarkan dalam Al-Qur’an

Berdasarkan makna tersebut makna halal bihalal jika ditinjau dari segi linguistik akan memberikan pemahaman bahwa seseorang menginginkan adanya sesuatu yang mengubah hubungannya yang keruh menjadi jernih, yang beku menjadi cair dan yang terikat menjadi bebas

  1. Ditinjau dari sudut pandang Al Qur’an

Kata halal dalam Al-Qur’an ditemukan sebanyak 6 ayat yang meliput 5 surah. 2 diantaranya dirangkai dengan kata haram yang mengemukakan konteks kecaman. Lalu 4 ayat disanya dirangkai dengan kata “makanlah” dan kata “yang baik”.

Sebagaimana dalam Q.S Al- Baqarah: 168 yang arinya “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halaldan  baik  yang  terdapat  di  bumi, dan  janganlah  kamu  mengikuti  langkah-langkah  setan.  Sungguh,  setan  itu  musuh  yang nyata bagimu”.

Pada  ayat  ini,  IbnuKatsir  menjelaskan  bahwa  dalam Q.S Al-Bawarah:168 Allah  memerintahkan  hamba-Nya yang  beriman  untuk  mengkonsumsi  makanan  yang  baik  atas  rezeki  yang  Allah  berikan agar  mereka  senantiasa  dianggap  bersyukur  atas  rezeki  Allah  yang  diberikan  kepadanya.

Fakhruddin  al-Razi memaknai  kata  halal pada  QS.  al-Baqarah  (2):  168  di  atas dengan arti sesuatu yang cara memperolehnya dan wujud barangnya harus dibenarkan oleh syariat. Sedangakan  makna thayyibpada  ayat  tersebut  adalah  lawan  dari khabits yang berarti  jelek  atau.  Makna thayyib adalah  perkara  yang  secara  akal dan  fitrah dianggap  suci  dan  baik.

Dengan  demikian  didapati  pemahaman  bahwa  halal  yang  dituntut  di  dalam  al-Qur’an ialah halal yang thayyib–halal yang baik lagi menyenangkan.

Baca Juga:  Kitab Nushushul Akhyar : Mengkaji Polemik Perbedaan Penetapan Ramadhan dan Hari Raya

Dengan kata lain, al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan sesuatu  yang  baik  dan  menyenangkan  semua  pihak.

Hal  inilah yang  menjadi  sebab mengapa  al-Qur’an tidak hanya menuntut dari seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi lebih penting dari itu yaitu berbuat baik kepada orang yang pernah melakukan kesalahan padanya. [] Khariztma Nuril Qolbi

Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah

Related Posts

Latest Post