Almuhtada.org – “Sekecil apapun bentuk khidmahmu, akan menjadi penentu seberapa manfaat dan barokah Ilmumu” -K H. Maimon Zubair.
Sungguh tidak asing ditelinga kita terkait santri dan Khidmah. Santri merupakan sebuah julukan kepada seseorang yang mengemban pendidikan agama walaupun ia tidak mondok, karena hakikatnya santri ialah penerus ulama, orang yang mempunyai bekal agama di dunia walaupun masih belum matang.
Khidmah adalah suatu bentuk kesediaan seorang santri mengabdi pada kiyai dan pesantren, ketika seorang santri nyantri dengan tidak berkhidmah, ilmu yang didapatkan tidak seberapa.
Ada sebuah cerita dalam buku Wejangan Santri yang ditulis oleh tim karya tulis ilmiah angkatan 15 Ullimna Rusyda, cerita ini terdapat pada bab empat dengan judul “Ngalap Barokah.” Sumber tulisan ini didapatkan dari salah satu seorang ustadz yang sedang mengabdi di pondok Pesantren Al Anwar 2.
Bahwasanya ada sebuah cerita yang didapatkan dari mbah Jawad (Masyaikh MGS). Beliau bercerita ada seorang santri yang menyantri pada seorang kiyai, sebut saja namanya Shodrun (nama samaran).
Shodrun tidak bisa membaca kalam arab dan selama ia menyantri, ia belum pernah mengaji sama sekali pada kyainya. Ia langsung berkhidmah derek kyai dan sangat patuh pada kyainya.
Setiap kali ia ingin ikut mengaji pasti ada saja perintah dari sang kyai untuk shodrun, namun ia tidak pernah mengeluh dan membantah atas perintah sang Kyai.
“Drun, sapine uwis diretno? (Drun, sapinya sudah dicarikan rumput?”
“Weduse uwis dipakani?” (kambingnya sudah diberi makan?” ujar sang kyai, sampai ia pun tidak jadi ikut mengaji.
Suatu hari Shodrun diutus kyainya untuk pergi kepada seorang kyai dengan membawa sepucuk surat dan tasbih, sambil memberikan kuda untuk dibawa ketika perjalan supaya perjalanan yang dilaluinya lebih cepat, karena perjalan dari pesantren menuju rumah sang kyai tersebut memakan waktu dua jam.
Namun, setelah satu minggu Shodrun tak kunjung kembali dan sang kyai pun nampak sedikit marah. Dua minggu setelahnya barulah Shodrun kembali.
“Awakmu iki tak kon gowo jaran ben cepet, kok malah podo wae! (kamu itu suru saya membawa kuda biar cepat, ko malah sama aja),” duko (marah) sang kiyai.
Lalu Shodrun menjawab “Sanjange panjenengan ken mbeto, nggih kulo mbeto boten kulo tunggangi (Kata Kyai saya suruh membawa, ya saya bawa tidak saya tunggangi).” jawab Shodrun.
Shodrun sangat patuh pada Sang Kyai, apapun yang dikatakan oleh Kyainya ia selalu melaksanakan tanpa membantahnya sama sekali, ia akan melaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Kyainya.
Lalu Kyai bertanya kepada Shodrun: “Awakmu ngerti surat iku isino opo, drun? (kamu tahu isi surat itu, Drun?)”
“Mboten, Yai (Tidak, Kyai)” jawab shodrun
“Surat sing mbok kirimno iku surat lamaranmu kanggo putrine kyai mau (surat yang kamu kirimkan barusan itu adalah surat lamaranmu untuk putrinya kyai tadi),” ujar Sang Kyai lagi.
Shodrun sangat terkejut mendengarnya, bukan Shodrun namanya jika tidak mematuhi apa yang diinginkan Kyainya. Akhirnya ia pasrah saja ketika dijodohkan oleh Kyainya dan ia menikah dengan putri Kyai tersebut.
Setelah menikah dengan putri Kyai tersebut, Shodrun diperintahkan oleh mertuanya untuk mengajar kitab Ihya Ulumuddin, padahal sebelumnya Shodrun belum pernah mengaji kitab Ihya’ bahkan memegang kitab pun tidak pernah. Karena ia sudah terlanjur di percaya oleh mertuanya, maka ia pun mengiyakan dan melakukan apa yang diperintahkan oleh mertuanya.
Hari pertama Shodrun mengajar para santri, Shodrun membuka kitab dengan sangat bingung, lalu ia mengucapkan lafadz بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم.
Setelah membaca kalimat tersebut, ia diam saja dan menangis sambil melihat ke arah Kitab. Karena sebelumnya ia belum pernah membaca kitab sama sekali.
Lalu ia menutupnya dengan membaca والله أعلم بالصواب, sambil terisak dan meninggalkan para santrinya. Anehnya santri-santri malah terkagum dengan perilaku Shodrun.
Hari kedua Shodrun mengajar ia masih merasakan hal yang sama dari hari sebelumnya. Ia hanya bisa membaca sampai الحمد dan mengakhiri pengaosan tersebut, karena ia tidak sanggup melanjutkannya. Santrinya tertegun melihat hal itu.
Shodrun frustasi atas apa yang terjadi pada dirinya dan ia berniat untuk melarikan diri. Ia berlari sangat kencang dan ditegur oleh istrinya, ia pun sadar, ternyata sedari tadi ia hanya berlari di dalam kamarnya saja.
Keesokan harinya ia berniat untuk bunuh diri, namun ia sadar bahwasanya bunuh diri itu dosa dan akhirnya ia berpikir untuk memanjat pohon saja karena jika ia jatuh dari pohon dan meninggal ia tidak bunuh diri dengan sengaja. Lalu ia pergi ke hutan dan memanjat pohon yang dirasa paling tinggi.
Tak lama saat ia berada di atas pohon ia seperti mendengar suara seseorang memanggil namanya, dan ternyata itu adalah suara Kyainya yang menyuruhnya untuk turun, akhirnya Shodrun pun turun.
Kyainya bertanya kepada Shodrun: “Awakmu lagi lapo, Drun? (Kamu lagi ngapain, Drun?)”
“Kulo bingung, Yai. Kulo riyin pas kalih jenengan mboten pernah derek ngaos. Kulo diutus ngaos kitab Ihya’, Yai. Kulo mboten saget. Kulo bingung ngurusi santri, kulo derek jenengan mawon, Yai. Kulo mboten nopo-nopo diken angon wedus. (Saya bingung, Kyai. Dulu ketika saya bersama Kyai, saya tidak pernah mengaji. Saya diutus mengaji kitab Ihya’ Yai, saya tidak bisa saya bingung mengurus santri. Saya ikut Kyai saja tidak apa-apa jika disuruh mengembala sapi dan kambing)” jawab Shodrun.
Lalu Kyai menyuruh Shodrun kembali ke pesantren mertuanya dan membuka kembali kitab Ihya’ sambil membaca lafad basmallah dan meniup tiga kali.
Shodrun pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Kyainya dan kembali ke pesantren mertuanya. Meskipun ia masih belum yakin apakah yang datang itu Kyainya atau bukan.
Saat ia kembali ke Majelis pengaosan, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dan langsung membuka kitab Ihya’, mengamalkan apa yang dikatakan oleh Sang Kyai.
Sesuatu yang tak disangka-sangka terjadi pada Shodrun, akhirnya ia bisa membaca kitab Ihya’ dengan sangat lancar dan menerangkannya kepada santri-santrinya, sampai ia dapat mengkhatamkan kitab Ihya’ Ulumuddin.
Dari cerita di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya khidmah itu sangat penting, menyantri bukan hanya tentang mengaji saja, melainkan khidmah juga harus dilakukan. Adanya barokah ilmu yang didapatkan dari guru ialah dengan cara berkhidmah.
Sebagai kalimat penutup terkait khidmah yakni “Wong duwe Ilmu tapi ora Khidmah iku ibarat panganan ora ana rasane.” – Ustadz Muhammad Jibril Su’ud. [] Nayla Syarifa
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah