Syekh Izzuddin bin Abdissalam: Sulthonul Ulama yang Gigih dalam Menuntut Ilmu

Kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam merupakan karya Sulthonul Ulama yaitu Syekh Izzuddin bin Abdissalam
Kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam merupakan karya Sulthonul Ulama yaitu Syekh Izzuddin bin Abdissalam (Instagram.com/@jualkitabkitabarab - Almuhtada.org)

Almuhtada.org – Dalam dunia keilmuan Islam, kita mengenal beberapa tokoh intelektual muslim yang terkemuka di zamannya. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani terkenal dengan gelar Sulthonul Auliya (rajanya para wali), sedangkan Syekh Izzuddin bin Abdissalam masyhur dengan sebutan Sulthonul Ulama (rajanya para ulama).

Syekh Izzuddin bin Abdissalam merupakan ulama Syafi’iyah yang tersohor sebagai ulama produktif dan keluasan keilmuannya dalam bidang keislaman. Syekh Izzuddin merupakan seorang ulama ahli fiqih, tafsir, dan hadist dalam mazhab Syafi’iyah.

Berkat sumbangsihnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dunia Islam waktu itu, tidak mengherankan jika ia memperoleh gelar agung yaitu Sulthonul Ulama. Hal itu tentunya tidak lepas dari perjuangan dan semangatnya dalam menuntut ilmu walaupun dimulai di usia yang sudah tidak muda.

Syekh Izzuddin kecil lahir lahir di Damaskus, Irak pada tahun 577 H atau 1181 M. Nama lengkapnya yaitu Imam bin Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abul Qasim bin Hasan as-Sulami ad-Dimisyqi asy-Syafi’i. Adapun nama “Izzuddin” diperoleh dari kesesuaian adat istiadat kota Damaskus dikarenakan ia merupakan ulama berpengaruh disana. Nama “Izzuddin” yang berarti kehormatan agama tidak pelak menjadi sebutan terkenal bagi Syekh Izzuddin bin Abdissalam.

Latar Belakang dan Kondisi Ekonomi Keluarga Syekh Izzuddin

Tidak seperti ulama pada umumnya, Syekh Izzuddin terlahir dari keluarga yang bisa dikatakan golongan menengah ke bawah atau miskin. Ia dan keluarganya hidup dalam kesederhanaan dan serba kekurangan yang mengakibatkan Syekh Izzuddin tidak bisa mengenyam pendidikan saat kecil atau usia muda.

Baca Juga:  Salman al-Farisi: Kejeniusan di Balik Pembuatan Parit dalam Pertempuran Khandaq

Keterbatasan bekal dan biaya menyulitkan Syekh Izzuddin muda dalam memperoleh akses pendidikan yang baik dan layak. Di saat usianya yang tidak muda lagi, Syekh Izzuddin baru mulai bisa menuntut ilmu walaupun harus rela menginap di emperan Masjid Agung Umayah di Damaskus. Kendati demikian, Syekh Izzuddin berusaha sabar dan bersyukur atas keadaan yang dialaminya. Pada waktu tua, justru ia telah memperlihatkan kegigihannya dalam belajar agama Islam secara mendalam.

Kisah Mimpi Basah Tiga Kali dan Pertama Kali Memperoleh Futuh

Pada suatu malam yang dingin di Kota Damaskus, Syekh Izzuddin tertidur di emperan Masjid Agung Umayah yang biasa menjadi tempatnya menginap. Pada tengah malam, ia mengalami mimpi basah. Ia bergegas menuju kolam area masjid untuk mandi besar walaupun airnya sangat dingin.

Setelah selesai mandi, ia kembali melanjutkan tidurnya di emperan masjid. Tidak dipungkiri, kejadian mimpi basahnya sampai berulang sebanyak tiga kali pada malam itu yang mengharuskan Syekh Izzuddin terpaksa mandi di tengah malam yang amat dingin airnya. Disaat itu pula ia mendengar suara lirih yang memanggil namanya.

Artinya, “Wahai Ibna Abdussalam, apa yang engkau hendaki, ilmu atau amal?”

Mendengar panggilan dan pertanyaan tersebut, secara spontan ia langsung menjawab, “Tentu saja ilmu, karena dengannya aku bisa beramal.”

Pada keesokan harinya dengan izin Allah SWT, Syekh Izzuddin seperti memperoleh futuh (terbukanya pemahaman yang diraih tanpa belajar). Allah SWT memberikan pemahaman tinggi serta hidayah kepadanya atas perjuangan serta kegigihannya dalam menuntut ilmu.

Baca Juga:  Tiga Adab Murid dalam Menuntut Ilmu, Simak Penjelasan Lengkapnya!

Dibuktikan pasca kejadian itu, Syekh Izzuddin lebih mudah belajar dan menghafal  kitab at-Tanbih karya Imam asy-Syairazi dalam waktu yang relatif singkat. Ia pun terus belajar dan mendalami ilmu pengetahuannya dengan gigih dan semangat tinggi. Perjuangannya tersebut ia tetap lakukan ditengah krisis ekonomi keluarganya.

Berbagai bidang ilmu ia pelajari dan kuasai seperti tafsir, hadist, ushul fiqih, fiqih, balaghah, dan lainnya. Berkat ikhtiar, doa, dan tawakalnya, ia sukses menjadi seorang ulama yang disegani di Kota Damaskus bahkan luar negeri Irak. Bahkan beberapa ulama masa itu menyebut bahwa Syekh Izzuddin telah mencapai tingkat seorang mujtahid.

Perjalanan Intelektual dan Menjadi Ulama Produktif

Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, perjalanan intelektual Syekh Izzuddin tidaklah mudah. Keterbatasan finansial keduanya orang tuanya menyebabkan ia terpaksa menunda terlebih dahulu pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Ia baru bisa merasakan belajar ketika umur sudah tua.

Kendati demikian, ghiroh (semangat) dalam menghafalkan kitab dan belajar sangatlah tinggi. Demi menebus masa kecilnya yang tidak bisa belajar, ia secara ritun mengaji kepada para ulama terkemuka pada waktu itu. Hal itu terus dilakukannya sembari harus menginap di emperan Masjid Agung Umayah.

Keluasan keilmuan Syekh Izzuddin sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Kepakaran dalam berbagai bidang ilmu Islam menjadikan ia mendapatkan gelar agung yaitu Sulthonul Ulama (Rajanya para ulama). Ia juga terbilang ulama yang sangat produktif dalam menulis karya dalam bentuk kitab.

Baca Juga:  Menata Niat dalam Menuntut Ilmu

Di antara karangan kitabnya di bidang Fiqih yang paling terkenal yakni kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam. Kitab ini menjelaskan berbagai masalah yang berkaitan dengan amal ibadah, muama­lah, serta berbagai aktivitas seorang ham­ba Allah. Berbagai karya kitabnya terus dikaji oleh ulama pada masanya sampai sekarang ini.

Demikian kisah singkat Syekh Izzuddin bin Abdussalam dalam menggapai cita-citanya. Dari kisah tersebut, kita bisa mengambil hikmah penting dalam upaya menuntut ilmu. Jangan sampai kita berputus asa dalam belajar sekalipun hidup serba terbatas, baik dari segi ekonomi maupun usia yang sudah tidak muda lagi. Kesuksesan Syekh Izzuddin bin Abdissalam bisa menjadi pembelajaran kita dalam mengeyam pendidikan serta upaya menggapai cita-cita luhur. [] Mohammad Fattahul Alim

Editor: Mohammad Rizal Ardisnayah

Related Posts

Latest Post