Almuhtada.org – Syekh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan seorang waliyulloh masyhur yang bergelar “Sulthonul Auliya” atau rajanya para wali seluruh dunia.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah ulama bermazhab Hambali yang terkenal di bidang Fiqih dan Tasawuf. Ia lahir pada hari Senin, 1 Ramadhan 470 H atau 1077 Masehi di daerah Kurdistan, Irak.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tergolong keturunan Rasulullah SAW yang bersambung pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia memiliki segudang karomah dan keistimewaan yang agung sehingga menjadi panutan oleh umat muslim, khususnya kaum Sunni.
Keluasan ilmu pengetahuan disertai kepribadian yang berakhlak mulia tidak pelak menjadikan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mendapat gelar Raja Para Wali atau Sulthonul Auliya.
Kisah atau sejarah ia mendapatkan gelar agung tersebut telah termaktub dalam kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah karya Habib Ali Hasan Baharun. Dikisahkan dalam perjalanan belajar menuntut ilmu, Syekh Abdul Qadir bersama dua rekannya yang juga cerdas yakni bernama Ibnu Saqa dan Ibnu Abi`Asrun.
Ketiga orang tersebut berencana sowan ke rumah seorang wali al-ghouts saat itu yang tinggal di pelosok negeri. Mereka hendak mengutarakan maksud dan tujuan masing-masing kepada Sang Wali al-Ghouts tersebut.
Mereka pun akhirnya berangkat bersama sembari saling menanyakan maksud mereka sowan. Ibnu Abi`Asrun memulai bertanya kepada Ibnu Saqa mengenai tujuannya tersebut.
“Hai Ibnu Saqa, apa tujuanmu sowan ke wali itu? Tanya Ibnu Abi`Asrun
“Aku sowan ke sana mau mengajukan pertanyaan sangat sulit agar dia tak mampu menjawabnya.” Jawab Ibnu Saqa dengan tegas.
Setelah itu, Ibnu Abi`Asrun juga membeberkan alasannya sowan kepada Ibnu Saqa dan Syekh Abdul Qadir.
“Kalau aku tentunya juga ingin bertanya hal yang sulit agar dia tak mampu menjawabnya. Aku ingin mengetes keilmuan wali itu.”
Dari pernyataan keduanya tersebut, tujuan mereka pada hakikatnya hanyalah untuk menguji kedalaman ilmu Sang Wali al-Ghouts agar bisa menyulitkannya dalam menjawab pertanyaan keduanya.Dilain sisi, Syekh Abdul Qadir akhirnya ditanyakan oleh salah satu dari kedua temannya.
“Qodir, apa maksudmu sowan kepada wali itu?”
“Aku tidak ingin bertanya apapun. Aku hanyalah ingin sowan dan mengharap berkah walinya Allah SWT tersebut. Aku yakin, beliau ini telah disibukkan dengan kekasihnya yaitu Allah SWT.”
Kedua temannya hanyalah bisa diam mendengar alasan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Pada akhirnya mereka bertiga sampai di kediaman Sang Wali al-Ghouts setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Mereka lantas mengetuk pintu sembari mengucapkan salam. Agak berselang lama, Wali al-Ghouts tersebut keluar rumah dalam keadaan marah sambil bertanya.
“Siapa disini yang bernama Ibnu Saqa dan Ibnu Ibnu Abi`Asrun?” Tanya Wali al-Ghouts dengan lantang
“Kami, ya Syekh.” Jawab Ibnu Saqa dan Ibnu Abi`Asrun.
“Wahai Ibnu Saqa, dalam pandangan kasyafku, aku melihat ada api kekufuran yang menyala-nyala dalam tulang rusukmu. Wahai Ibnu Abi`Asrun, aku melihat dunia berjatuhan menimpa tubuhmu.”
Sang Wali al-Ghouts tersebut telah mengetahui pertanyaan dari Ibnu Saqa dan Ibnu Abi`Asrun dengan karomahnya sebelum mereka sampai dirumahnya. Akhirnya Sang Wali langsung menebak dan menjawab pertanyaan mereka berdua secara detail. Sang Wali lalu mengusir mereka berdua dari rumahnya.
Kemudian Sang Wali al-Ghouts melihat ke arah Syekh Abdul Qadir dan berkata kepadanya.
“Wahai Abdul Qadir. Aku tahu tujuanmu sowan kepadaku hanyalah untuk mengharapkan keberkahan dariku. Insyaallah tujuan baikmu itu akan terwujud. Aku juga melihat engkau bilang kepadaku, ‘Kakiku ini berada di leher seluruh para wali di dunia ini’, sekarang pergilah anakku!”.
Selang beberapa hari, perkataan Sang Wali al-Ghouts tersebut akhirnya terbukti secara nyata. Pertama, Ibnu Saqa telah menggadaikan agamanya untuk menikahi seorang gadis cantik Nasrani. Hal ini selaras dengan perkataan waktu itu bahwa terdapat api kekufuran yang menyala dalam tulang rusuknya Ibnu Saqa.
Kedua, kejadian yang dialami oleh Ibnu Abi`Asrun. Ia beri mandat oleh raja setempat untuk mengurusi harta wakaf dan sedekah di negerinya. Tidak hanya itu, jabatan tersebut bahkan datang terus-menerus dari seluruh penjuru kota negerinya. Hal ini juga selaras dengan perkataan Sang Wali bahwa hal-hal dunia akan berjatuhan menimpa dirinya Ibnu Abi`Asrun.
Sementara itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani justru mendapatkan derajat atau maqom tertinggi dari Allah SWT yaitu Sulthonul Auliya.
Hal ini berkat sikap rendah hatinya kepada seorang Wali al-Ghouts sehingga beliau diangkat menjadi raja dari seluruh para wali di muka bumi. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani wafat pada tanggal 11 Rabiul Tsani 561 Hijriah dalam usia 91 tahun. Beliau dimakamkan di kota Baghdad, Irak.
Dari kisah tersebut terdapat hikmah atau nasihat penting bagi siapapun. Seseorang tidak boleh menganggap dirinya lebih pintar dibandingkan dengan orang lain.
Tidak hanya itu, siapa pun juga tidak boleh meremehkan keilmuan seseorang yang terbukti kealimannya. Seharusnya sikap rendah hati perlu senantiasa ditanamkan dalam diri manusia sehingga terbentuk sifat akhlakul karimah seperti Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. [] Mohammad Fattahul Alim
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah