Almuhtada.org – Diceritakan oleh Dr. Miftahu Rahman El-Banjary, saat itu beliau telah cukup lama berdiri di hadapan makam Sang Maha Guru. Air mata kerinduan terus mengalir membasahi pipinya.
Bergejolak dan semakin mendalam. Jangankan manusia, makhluk tak bernyawa seperti sebatang pohon kurma pun merintih menangis lantaran merindukan Al-Musthafa. Kisah rintihan pohon kurma ini terdapat di dalam Sunan ad-Darimi, Juz 1, hal 23.
Simak begini kisahnya! Setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah, pekerjaan pertama dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah membangun Masjid. Beliau mendirikan Masjid Nabawi di tempat untanya berhenti. Tanah itu dibeli dari anak yatim bersaudara.
Pada awalnya, Masjid Nabawi masih berbentuk seperti bujur sangkar dan tidak terlalu luas. Masjid Nabawi ketika itu sebetulnya tak lebih dari sebuah lapangan yang dilingkari dengan tembok yang terbuat dari tanah liat. Beralaskan tanah dan beratapkan pelepah kurma.
Pada tahun ketujuh hijriah (628 M) Masjid tidak cukup untuk menampung kaum muslimin yang semakin bertambah, maka Rasulullah saw. memerintahkan untuk memperluas Masjid. Masjid Nabawi pun diperluas pada dua sisi, barat dan utara. Hingga akhirnya luas Masjid Nabawi pun melebihi dua kali lipat luas sebelumnya. Di tengah- tengah Masjid Nabawi, sekarang ada ruang atap seperti payung yang bisa dibuka. Pada zaman Nabi dahulu, tempat itu terdapat kebun kurma.
Pada saat Rasulullah saw menyampaikan dakwahnya, seringkali beliau berdiri di hadapan para Jamaah. Beliau berdiri di bagian Masjid paling depan, bersandar pada satu batang pohon kurma, di sebelah kanan yang sekarang kita kenal sebagai mihrab Nabi.
Manakala jumlah jamaah semakin bertambah banyak, orang-orang berdesakan memenuhi Masjid. Mereka yang duduk paling jauh dari Rasulullah saw tidak bisa melihat wajah beliau. Para sahabat juga kasihan melihat Rasulullah saw. yang kelelahan jika berdiri terlalu lama.
Sebagian para sahabat ada yang mengusulkan untuk membuat mimbar khusus bagi Rasulullah. Di atas mimbar itu, Nabi dapat sesekali duduk beristirahat atau menyampaikan khutbahnya sambil duduk.
Di samping itu pula, para sahabat yang berada di posisi paling belakang tetap bisa menyaksikan wajah Rasulullah saw. Nabi pun menyetujuinya.
Pada suatu hari Jumat setelah mimbar dibuat, Rasulullah saw. keluar dari pintu kamarnya. Beliau berjalan menuju mimbar dengan melewati pohoh kurma itu. Ketika Rasulullah saw menaiki mimbar untuk berkhutbah, tiba-tiba para sahabat yang hadir di Masjid itu mendengar bunyi rintihan memelas. Debu-debu dari tembok Masjid itu berjatuhan. Suara tangisan itu semakin lama semakin keras.
Para sahabat kebingungan, sembari mencari arah sumber suara tangisan itu. Nabi pun turun dari mimbarnya dan mendekati pohon kurma. Beliau meletakkan tangannya yang mulia pada batang kurma itu, mengusap dan kemudian memeluknya.
Perlahan-perlahan suara tangisan tersedu sedan itu kian mereda. Belum terjawab rasa penasaran para Shabat, Rasulullah saw. pun mengajak berdialog kepada pohon kurma itu.
“Maukah kamu aku pindahkan ke kebun kamu semula, berbuah dan memberikan makanan kepada kaum mukminin atau aku pindahkan kamu ke surga, setiap akar kamu menjadi minuman dari minuman-minuman di surga, lalu para penghuni surga menikmat buah kurmamu.”
Pohon kurma memilih pilihan yang kedua. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Af’al insya Allah!” Demi Allah, yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya jika tidak aku tenangkan dia, niscaya dia akan terus merintih hingga Hari Kiamat karena kerinduannya padaku, sabda Rasulullah saw.”
Sebagai kaum mukminin, apabila kita mengaku mencintai dan merindukan Rasulullah Saw. sudah sepantasnya kita berkaca dari kisah sebatang pohon kurma tersebut.
Bagimana tidak! Sebatang pohon kurma yang diciptakan tanpa akal, tanpa beban amanah atau pun tanggung jawab, ternyata masih menyimpan kerinduan mendalam serta rasa kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah saw.
Lantas bagaimana dengan kita? Pernahkah kita menangis karena merindukan Al-Musthafa? Semoga kedepannya kita bisa terus menambahkan rasa kecintaan kita terhadap Rasulullah Saw. dan membuktikannya dengan melakukan amalan amalan yang disenanginya sehingga kelak kita dapat menjadi salah satu umat yang memperoleh syafa’atnya. Aamiin Allahumma Aamiin. [] Mila Amalia
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah