Oleh:
Muhammad Miftahul Umam
Isu mengenai perempuan saat ini masih menjadi topik yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Sejak beberapa dekade yang lalu, isu-isu mengenai perempuan mulai ramai diperbincangkan, seiring dengan adanya kesadaran tentang ketidakadilan yang selama ini menimpa kaum perempuan. Dengan adanya kesadaran tersebut, akhirnya mendorong berbagai kelompok masyarakat untuk menyuarakan serta menuntut adanya kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Fenomena seperti ini dalam masyarakat kita biasa dikenal dengan istilah “kesetaraan gender”.
Saat ini, banyak kelompok atau gerakan yang lantang menyuarakan adanya kesetaraan gender. Salah satunya yang paling lantang adalah gerakan feminisme.Jane Pilcher dan Imelda Whelehanmenyatakan bahwafeminisme adalah gerakan kaum perempuan yang memperjuangkan hak-hak asasi mereka. Gerakan ini muncul pertama kali antara tahun 1880 sampai dengan 1920. Kemunculan gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran Mary Wollstonecraft lewat bukunya yang berjudul “Vindication of the Rights of Women”. Buku ini dipublikasikan di Inggris pada tahun 1792.
Meskipun kita kerap mendengar istilah gender, namun masih banyak di antara kita yang belum memahami dengan benar istilah tersebut. Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Sex adalah pembagian jenis kelamin yang melekat secara biologis, misalnya, jenis lelaki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jekala, memproduksi sperma dan sebagainya. Sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi telur, vagina, alat menyusui dan sebagainya. Alat-alat tersebut merupakan pemberian tuhan, sehingga sifatnya kodrati.
Sementara konsep gender merupakan pembagian jenis kelamin yang melekat secara non biologis.Gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut tidaklah kodrati, karena tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Dengan demikian, penggunaan istilah gender sebagai judul yang diusung dalam gerakan penuntutan terhadap hak-hak kaum perempuan sebenarnya kurang tepat.
Hadirnya berbagai gerakan atau kelompok yang progresif dalam menyuarakan keadilan, khususnya terhadap kaum perempuan sebenarnya sangat bagus, karena hal tersebut merupakan bagian dari kemanusian. Namun yang menjadi masalah adalah ketika hal-hal yang dituntut oleh kaum perempuan kemudian melampaui batas. Konsep kesetaraan bukan berarti antara laki-laki dan perempuan harus mendapatkan hak yang sama dalam segala hal, namun konsep kesetaraan yang paling ideal adalah ketika laki-laki dan perempuan mendapatkan serta menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing sesuai porsinya.
Seringkali banyak dari kita tidak sadar bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki karakteristik budaya tersendiri yang cenderung berbeda-beda.Konsep kesetaraan gender seharusnya dikonstruksikan dengan budaya masing-masing kelompok sosial. Pandangan mengenai ketetaraan gender antara satu kelompok dengan kelompok lainnya tidak lah harus sama.Indonesia adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya beragama, lebih khusus beragama Islam. Sehingga segala aspek kehidupan harus dikontruksikan dengan agama, berbeda dengan barat yang cenderung sekuler. Namun sangat disayangkan, banyak diantara kita yang tidak memahami hal tersebut dan cenderung terpaku dengan konsep yang diusung oleh barat.
Banyak konsep feminisme ala barat yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan agama, khusunya agama Islam. Seperti yang dijelaskan Warsito dakam penelitiannya (2013), antara lain: Seorang istri tidak memiliki beban untuk taat kepada suami karena kedudukan istri dalam keluarga adalah sejajar dengan suami, seorang suami tidak memiliki kewajiban untuk memberi nafkah kepada istri karena istri dalam keluarga merupakan mitra dan setara dengan suami, seorang istri memiliki hak untuk mengatur reproduksinya dan hak untuk melakukan aborsi yang dijamin oleh pemerintah tanpa harus izin suami dan lain sebagainya.
Tentu hal tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam, dimana seorang istri memiliki kewajiban untuk taat kepada sang suami (dengan catatan tidak melanggar syariat) dan seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepadanya istrinya. Saat ini banyak kelompok-kelompok, khususnya dari kalangan Islam sendiri yang menuntut kesetaraan gender namun bertentangan dengan agama. Misalnya adalah masjid feminis di Jerman yang bernama masjid Ibnu Rusyid-Goethe Berlin. Sebagai bentuk adanya kesetaraan gender, mereka mencampurkan antara laki-laki dan perempuan saat shalat dan seorang perempuan juga berhak untuk mengumandangkan adzan, mengimami khotbah serta salat jum’at dan lain sebagainya.
Islam adalah agama yang sangat meemuliakan seorang perempuan. Laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam memiliki kedudukan yang sederajat sebagai seorang hamba. Yang membedakan adalah tingkat ketaqwaan masing-masing individu. Antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Namun hal tersebut agak sedikit berbeda ketika keduanya membangun sebuah keluarga. Ketika mereka membangun keluarga, tentu akan memunculkan hak dan kewajiban masing-masing, yang agak sedikit berbeda ketika belum menikah. Seorang istri memiliki kewajiban untuk taat dan patuh kepada sang suami, dan seorang suami mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah terhadap istrinya.
Ketika seorang perempuan menikah tidak lantas menghilangkan hak-hak mereka seperti melanjutkan pendidikan, bekerja, tampil diruang publik dan lain sebagainya. Ketika seorang perempuan telah menikah, maka ia perlu mendiskusikan terlebih dahulu dengan suaminya karena seorang istri memiliki kewajiban untuk patuh terhadap suaminya. Jadi pada dasarnya, Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada perempuan setara dengan kedudukan yang diberikan kepada laki-laki. Namun yang perlu dipahami bahwa kesetaraan ini bukan berarti menjadikan perempuan sama persis dengan laki-laki dalam segala hal. Tentunya ada batasan-batasan tertentu yang membedakan antara seorang wanita dengan seorang pria. Dengan memahami kesetaraan gender secara benar, maka akan dapat menghantarkan pada suatu tatanan kehidupan yang ideal.
Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang