Oleh:
Muhamad Mahfud Muzadi
Tentu saja kita sudah tidak asing lagi dengan jargon “hubbul wathon minal iman” atau yang berarti “cinta tanah air adalah sebagian dari iman”. Kata-kata ini diserukan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari untuk menyemangati santri-santrinya dalam merebut kebebasan yang ambil kembali oleh penjajah pasca kemerdekaan. Beliau juga menambahkan bahwa syahid hukumnya bagi mereka yang gugur di medan peperangan. Sontak jargon ini menjadi viral di kalangan masyarakat dan efektif menjadi pemicu semangat bagi warga Indonesia. Bahkan sekarang jargon ini menjadi sebuah lagu wajib bagi kaum Nahdliyyin dengan judul “Yalal Wathon”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa antara Islam dan Nasionalisme terdapat sebuah relasi yang tidak bertentangan. Bahkan dalam al-Quran juga telah diterangkan bahwasanya Kholilullah Nabi Ibrahim a.s. telah mengajarkan untuk mencintai tanah airnya. Hal ini termaktub dalam Qur’an Surah al-Baqarah ayat 126 yang artinya “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian”. Tak hanya itu, diriwayatkan oleh sahabat Anas RA, bahwa Rosulullah SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding kota Madinah beliauSAW mempercepat laju untanya. Hal ini beliau SAW lakukan karena kecintaan dan kerinduan kepada kota Madinah.
Dengan dalil-dalil di atas, sudah cukup bagi kita untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air kepada bangsa ini. Propaganda Indonesia Kafir, Pancasila Thagut, dan doktrin keji lainnya yang pada dasarnya mengharamkan nasionalisme dengan argumentasi Islam, sudah sepantasnya kita jauhi. Beberapa kelompok yang berprinsip seperti itu, justru mereka tidak mengetahui dan mengenal ajaran Islam dengan benar.
Selain itu, wujud cinta tanah air juga dapat kita implementasikan dengan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Isu SARA dan perpecahan sering menjadi problematika bangsa yang heterogen ini. Salah satunya yang paling sensitif adalah perbedaan agama. Padahal perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Kerukunan antar umat beragama tentu dapat terwujud jika kita saling menghormati dan menghargai antar umat beragama. Hal ini telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau menjadi pemimpin kota Madinah. Masyarakat Madinah yang juga beragam, baik suku maupun agamanya, dapat disatukan dengan sebuah piagam, yaitu Piagam Madinah. Dengan piagam ini, masyarakat kota Madinah yang heterogen dapat bersatu padu dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Tentu saja bisa. Kita bisa analogikan Piagam Madinah dengan UUD 1945. Hal ini sudah dijelaskan dalam pasal 28e bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat sesuai agamanya. Selain itu, juga dijabarkan dalam pasal 29 ayat (2) bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan berbagai pernyataan tersebut, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak mencintai tanah air Indonesia. Sebagai generasi muda bangsa, mari kita jaga persatuan dan kesatuan serta tidak mudah terbawa kelompok yang tidak jelas kebenarannya. Cinta tanah air merupakan teladan para rosul dan ekspresi keimanan kita.
NKRI HARGA MATI!!
Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang