Pergilah, tapi Jangan Jauh-jauh: Catatan untuk Diriku yang Lemah

Oleh:

Wihda Ikvina Anfaul Umat

Adalah perasaan pada diri sendiri pula ialah Pesan bagi diri sendiri.

Jika bukan semua tentang kita yang akan dituliskan dan diingat pada- pada masa selanjutnya, maka bolehkah aku menumpahkan kecewa atas maksud diri yang sejatinya ingin sekali berguna bak namaku, yang selalu diharapkan banyak orang. Setiap insan adalah sebuah kelebihan yang harusnya dapat diapresiasi, tiap kita harusnya adalah insan bijak yang bukan mudah dipermainkan oleh keadaan. Bagus jika kalian paham, bagus jika kalian mengerti. Begini, banyak keadaan yang menghancurkan diri sendiri. Rasa kecewa yang berlebihan misal, pada titik terendah akan selalu ada tangis yang tercipta entah apa yang telah menyakiktinya, namun pedih itu tiba-tiba muncul, menghantam, keras, keras sekali, namun maaf itu tidak dapat dijelaskan, sungguh tidak dapat.

Sembari menelisik banyak hakikat dari setiap segi kehidupan, maka seajatinya aku tak ingin kembali pada puing-puing yang merupakan serpihan hancurku. Payahaku jarang bisa kembali, kembali bangkit, bagiku sulit, sangat sulit rupanya. Aku belum menemukan diriku, masih hilang, hilang, hilang dan seperti melayang jauh pergi, aku masih bingung cara untuk kembali, menemukan dan memperbaharui semangat

Waktu layaknya air yang tak ingin berdiam di alirannya. Yang walaupun tak terhentikan ia masih memberi pilihan untuk menentukan bagianmana yang akan digantikan karena terbuang. Maaf, sekali lagi bukankah kadang insan lebih memilih untuk berdiam, meski nyatanya ada yang lain dan lebih perlu untuk diselesaikan. Itu tidak penting namun lebih asyik mestinya. Sayang, setelah air terhenti maka juga terhenti pula segalanya. Entah bagaimana mengembalikannya aku juga bingung.

Baca Juga:  Keadilan Orang Gila: Masuk Surga Atau Neraka?

Boleh aku mengeluh, bolehkan? Kurasa selalu boleh dan kuyakin iya, benar demikian. Jangan sampai keluhku atau mungkin keluh kita tertumpuk dan menjadi suatu yang tinggi. Ini bergantung terhadap bagaimana sukaku atau sukamu meluapkannya, Andai aku boleh sedikit bercerita, resahku adalah resah sebab alasan yang tidak di latarbelakangi oleh alasan yang jelas, semacam keresahan kala ingin sedang tak tersampaikan karena barangkali sedikit berlebihan. Dan pada akhirnya lelah sendiri sebab tak mampu mengendalikannya. Resahku adalah puing-puing yang dianggap tak penting dan bahkan itu sangat berarti untuk diriku sendiri. Bagaimana dengan kalian resah apa yang sering dirasa, samakah? Dengan diriku. Aku harap tidak. Negeri ini tidak butuh kaum cengeng, jadi tolong berulang kali kukatakan pada diriku sendiri adakah yang lebih mampu untuk menghentikan pedih selain hati yang harus senantiasa kuat. Baik, aku mengalah membiarkan proses mengatasinya dengan cara yang sangat sulit kutebak.

Sejatinya aku ingin selalu berkata pada diri sendiri. Wahai diri!!! Kuatlah, sabarlah, citamu tinggi, cintamu dalam. pun perjalananmu juga masih panjang, sayangi tenagamu, hantam malasmu, ciptakan egomu. Bukan untuk menyerah pada keadaan, bukan untuk dipermainkan oleh nafsu, namun kokohlah berdiri teriaklah sesukamu hingga kau lega, dan membuang rasa kecewa. Menarilah dengan alunan lagu yang paling kau anggap asyik, tak apa dianggap gila, hanya anggapan tentu akan mematahkanmu kembali sedang berlaku sesukamu tanpa menyakiti orang lain akan menenangkanmu.

Baca Juga:  Selagi Masih Sendiri, Yuk Perbaiki Diri!

Aku ingat satu hal bahwa tiada bandingan antara bulan dan matahari mereka indah dengan sinarnya di waktu yang telah ditakdirkan. Tak perlu risau apabila hari ini belum beruntung, ini bukan kiamat kubro katanya, hanya sugro yang terlalu kau lebih-lebihkan seakan sudah tiada lagi sempat untuk berbuat lebih baik, kedepan. Syukuri lagi, lagi, lagi dan lagi. Jangan lelah, jangan lelah wahai diriku.

Terimakasih diriku, kamu hebat. Tapi aku yakin kamu masih bisa lebih hebat dari ini.

Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Related Posts

Latest Post