Bakat, Delusi Harapan

Oleh:

Gema Aditya Mahendra

Adakah sesuatu yang bisa disebut sebagai bakat? Apa itu bakat? Apakah itu hasrat? Panggilan hidup? atau tujuan yang ingin dilakukan semasa hidup? Apaka bakat bisa didefinisikan secara gamblang dan jelas? Apakah dia sebuah titik akhir atau jalan yang berkelok-kelok?. Dulu ketika saya SMP saya suka menggambar, seluruh aktivitas seharian saya fokuskan hanya untuk menggambar. Namun ketika beranjak ke SMA saya lebih hobi bermain piano, aktivitas keseharian yang sebelumnya saya tekuni untuk menggambar pun berubah menjadi bermain piano. Jadi apakah saya berbakat menggambar atau bermain piano? Itu disebut bakat? Sesuatu yang flexible, fixed, dan dapat berubah seiring waktu berjalan?

Memang ketika dulu SMA saya tidak begitu pandai bermain piano, tapi setelah 6 bulan latihan, belajar, trial error, jadi berbakat main piano? Jadi apakah itu yang disebut dengan bakat? Orang yang passionateterhadap satu hal secara konsisten dan beberapa hal dalam timeframe yang panjang?  Atau bakat justru sesuatu yang alamiah, kodrat, dan gifted. Kemampuan apapun itu sebutannya ketika saya latih dalam kurun waktu tertentu, cukup untuk membuat saya lebih dari average. Jadi bakat itu diusahakan atau diturunkan secara genetik?

Bakat terlalu random untuk dipahami. Bakat menurut hemat saya merupakan wadah kosong yang diberi nilai, dikejar, dan diamini, agar hidup yang menurut mereka sia-sia ini tampak lebih berarti. Mari kita ambil contoh, Albert Einstein. Sejarah mencatat bahwa kecerdasan intelektual beliau berada pada poin 160. Sedangkan manusia normal berada pada poin 90-120. Katakanlah kamu adalah manusia normal, Apakah ada kemungkinan ketika kamu belajar mekanika kuantum selama ratusan tahun kamu bisa menemukan teori relativitas? dilatasi waktu?.

Terutama orang yang punya retarted mental yang berada pada poin IQ dibawah 70, mustahil bisa menemukannya. Mereka mustahil  melampaui Albert Einstein dalam physics. Mustahil dapat melampaui Ramanujan dalam Math Solution. Mustahil dapat men skak mat Garry Kasparov dalam catur. Bahkan mustahil melampaui saya dalam problem solving tertentu. Entah karena mereka Down Syndrome atau sakit karena beberapa spektrum autis, atau idiot, atau entah karena ibu mereka dulu suka minum bensin, ngerokok, dan nyabu ketika hamil, sehingga ketika mereka lahir, kemampuan intelektualnya jauh dibawah average. Tapi tentu hal tersebut sangat abstrak dan acak.

Baca Juga:  استراتيجيات للتغلب على الإسلاموفوبيا

Ketika kamu sudah memercayai bakat, sebagian dari diri kamu akan masuk kedalam delusi harapan. Dulu mungkin kamu mengira bahwa suatu saat akan menjadi ilmuwan hebat, kamu akan meraih nobel fisika karena penemuan mu membantah Einstein Relativity. Meskipun usaha kamu maksimal, memangnya siapa kamu? Kamu hanyalah manusia normal pada umumnya. Selagi kamu tidak punya pemberian kecerdasan intelektual yang tinggi ketika lahir. Maka besar kemungkinan kamu tidak dapat melakukannya. Berakir pada keyakinan kosong  tanpa makna, delusi harapan.

Perlu disadari bahwa kamu tidak bisa memilih dilahirkan di suku apa, kulit warna apa, IQ sebesar apa, otak senormal apa, orangtua se-kaya apa. Jadi bukan ranah kita untuk mendeterminasikan hal tersebut. Di Jerman mungkin Einstein dapat menjadi ilmuwan, tapi ketika lahir di Indonesia, Einstein mungkin saja bekerja sebagai tukang tambal ban. Mungkin Bill Gastes ketika lahir di Rusia akan jadi germo. Jadi apakah bakat di intervensi oleh nasib?

Saya jadi teringat pada suatu film, ‘Disaster Artist’. Ketika ada seseorang yang memproduksi film dan dia merasa dia mampu membuat film terbaik di dunia. Padahal knowledge dia mengenai perfilman adalah sampah total dan pada akhirnya pun film nya memang sampah total. Tapi tetap ada audience yang menertawakan fenomena betapa sampahnya film dia. Jadi tidak begitu buruk.

Memang delusi harapan akan keyakinan bakat pada level tertentu itu ada baiknya. Bisa membuatmu termotivasi. Misalkan kamu percaya delusi “Saya bisa dapat nobel fisika”. Kemudian, akibat keyakinan bodohmu ini, kamu jadi rajin belajar, menghabiskan jurnal-jurnal sains ilmiah dibidang fisika setiap hari. Lalu kemudian kamu lulus S3. Suatu ketika kamu berumur 73 tahun dan dari sekian ratus karya mu, kamu dinobatkan sebagai fisikawan Indonesia paling berpengaruh. Meskipun kamu tidak dapat nobel, namun kamu mencapai titik penghargaan Bapak Fisikawan Indonesia terbaik karena delusi yang kamu bangun sebelumnya. Performance yang kamu wujudkan  adalah hasil kerja keras yang cukup signifikan terhadap perubahan dalam kehidupan manusia.

Baca Juga:  Seorang Nenek :)

Tapi sangat mungkin pula, ketika kamu mempunyai delusi harapan, kamu punya tujuan kesana, punya usaha untuk mewujudkannya, namun akan terasa akan sangat tidak signifikan upaya konkritmu terhadap perubahan kemajuan peradaban manusia. Misal, ketika ada orang yang tidak punya kaki, tidak punya tangan (disabilitas) tapi bisa dapat predikat Juara 1 Seni Karate se-Asia. Mustahil? Tapi fenomena tersebut memang benar-benar terjadi dalam ajang kompetisi karete di Jepang. Hadiah yang diberikan pun besar, penghargaannya sangat bergengsi. Meskipun saya yakin peluang dia juara juga berkat disorot media karena semangat serta dedikasi nya bisa jadi contoh banya orang.

Tapi rasanya tetap saja berlebihan, sebab bagaimana mungkin seorang disabilitas tanpa kaki dan tangan bisa mengalahkan orang normal bahkan orang normal tersebut tanpa pernah mengikuti latihan karate sekalipun? Bagaimana mungkin dia dapat bertahan dari hewan buas tanpa tangan dan kaki? Bagaimana mungkin dia dapat menyelamatkan orang dari situasi berbahaya sekalipun. Sangat mustahil.

Sama hal nya dengan menonton sepak bola, sampai sekarang saya masih tidak paham mengapa sebagian dari kita harus antusias dalam menonton bola. Mengapa perlu diberikan hadiah yang sangat besar kepada para tim sepak bola yang berhasil mendapat juara? Apa yang perlu dibanggakan dari banyaknya dia mencetak skor kemenangan sepak bola dan apa benefit yang dapat diambil terhadap perubahan kemajuan dunia ini?. Meskipun misal tim Indonesia mendapat juara dunia terbaik sekalipun dalam persepakbolaan, dan kemudian mendapat hadiah yang sangat besar atas apresiasi pemerintah terhadap usaha tim mereka? bukankah sebaiknya hadiah-hadiah besar tersebut lebih baik dialihkan kedalam lomba bidang ilmu pengetahuan yang jelas-jelas dapat membawa perubahan yang signifikan terhadap masa depan dunia?

Baca Juga:  HUJAN EMAS ATAU HUJAN BATU?

Kalau berbicara result concrete, memang orang-orang semacam tadi yang saya sebutkan seperti orang idiot, seorang penyandang disabilitas, dan tim sepakbola, eksistensinya tampak tidak begitu penting. Predikat yang mereka raih pun tidak begitu membawa perubahan yang signifikan bagi kemajuan peradaban manusia. Meskipun kondisi yang menempel pada diri mereka cukup memprihatinkan. Meskipun borgol dan pasung melekat pada tangan dan kaki mereka. Tapi setidaknya dengan adanya delusi-delusi bakat seperti itu bisa membuat mereka merasa ‘penting” dan hidupnya yang tampak sia-sia itu terlihat sedikit lebih berarti, sehingga kebutuhannya ada dan nyata, dengan begitu mereka bisa merasakan euforia atas usaha yang mereka lakukan selama hidup.

Memang hidup pada dasarnya berarti dan tidak berarti sekaligus bersamaan. Sama seperti kosong yang dapat dikatakan sebagai isi,  dan isi yang dapat dikatakan sebagai kosong.

Kosong adalah isi, isi adalah kosong.

Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang

Related Posts

Latest Post