Almuhtada.org – Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 dikatakan bahwa usia minimal pernikahan seseorang adalah 19 Tahun baik laki-laki maupun perempuan.Namun, dalam Islam, tidak ada aturan eksplisit mengenai batas usia minimal pernikahan bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut Habib Quraish Shihab, Islam menyerahkan ketentuan usia pernikahan kepada kondisi masyarakat setempat.
Setiap negara atau daerah memiliki standar usia dewasa yang berbeda, usia kedewasaan seseoramhg dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk iklim. Di negara beriklim panas, misalnya, individu cenderung mencapai kedewasaan fisik lebih cepat dibandingkan mereka yang tinggal di negara beriklim dingin. Oleh karena itu, Islam tidak mengatur secara tegas batas minimal usia pernikahan. Akan tetapi, penting dipahami bahwa pernikahan bukan hanya soal kesiapan biologis,tetapi terdapat faktor lain yang harus dipertimbangkan.
Dalam Al-Qur’an, disebutkan bahwa apabila seorang anak muda ingin menikah, ia sebaiknya menahan diri hingga memiliki kemampuan. Kemampuan yang dimaksud mencakup kesiapan fisik, mental, dan ekonomi, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Setiap negara memiliki pandangan mengenai fungsi pernikahan, yang meliputi fungsi agama, biologis, cinta kasih, dan lainnya. Apabila seseorang belum mampu memenuhi fungsi-fungsi tersebut, sebaiknya ia menunda pernikahan.
Kedewasaan tidak semata-mata diukur dari usia. Menikah di usia dini tanpa kesiapan hanya karena takut berzina dapat membawa risiko yang lebih besar. Menurut Habib Quraish Shihab, jika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama sulit, pilihlah yang resikonya lebih ringan. Menikah untuk menghindari zina sering kali bukan solusi terbaik,solusi yang terbaik adalah mendidik anak dengan baik, memperkuat fungsi keluarga, dan membekali anak dengan nilai agama adalah langkah yang lebih tepat.
Kedewasaan tidak hanya ditentukan oleh usia. Menikah bukan semata-mata soal umur, tetapi yang terpenting adalah kesiapan mental dan kedewasaan seseorang. Kedewasaan inilah yang akan memungkinkan terwujudnya fungsi-fungsi dalam pernikahan, seperti komitmen, tanggung jawab, dan saling menghargai antara pasangan.
Namun seperti kita kertahui bersama bahwa kebanyakan orang diindonesia sering menikahkan anak-nya yang masih berusia dini sebab untuk menghindari zina,hal ini tentu tidak dapat dibenarkan sebab hal ini sama saja dengan mengobati penyakit dengan sebuah penyakit,seharusnya kita mengobati sebuah penyakit dengan obat. Menikah dengan alasan takut untuk berzina hal itu dapat mengakibatkan penyakit yang jauh lebih parah dari pada perzinahan itu sendiri
Sebab dengan usia nya yang masih belia dan ia memutuskan untuk menikah dengan alasan untuk menghindari zina,hal ini akan melahirkan anak-anak yang tidak terdidik,perceraiana yang akan mempengaruhi anak itu sendiri
Habib qurais syihab mengatakan apabila kita dihadapkan dengan 2 pilihan yang buruk,maka carilah yang lebih ringan dampaknya,maka apabila seseorang ingin menikah diusia yang masih kecil dengan alasan untuk menghindari zina,maka harus mencari solusi yang lain seperti didik dia dengan baik,dan laksanakan fungsi keluarga dengan baik,seperti fungsi pemiliharaan, agama agar hal ini membentengi anak tersebut meskipun ia belum menikah.
Namun seperti kita lihat dalam literatur sejarah,bahwa siti aisyah R.A menikah dengan Rasulullah SAW pada udia 6 tahun,nah hal ini menjadi salah satu alasan masyarakat untuk menikahkan anaknya diusia yang amat sangat dini dengan embel-embel ‘’mengikuti perbuatan nabi’’
Padahal riwayar tersebut masih diperdebatkan oleh para ulama’ apakah hadist tersebut shahih ataukah dhoif,banyak ulama’ yang menganggap bahwa hadist tersebut adalah hadist yang dhoif atau palsu . salah satu bukti yang menunjukan hadist itu dhoif adalah,bahwa sebelum aisyah menikah dengan nabi,aisyah sudah dulu dilamar oleh seseorang sebelum nabi,hal itu berarti dapat disimpulkan bahwa masyarkat pada zaman tersebut sudah menganggap bahwa aisyah sudah siap atau sudah dewasa.
Menikahkan anak di usia dini dengan alasan mencontoh Rasulullah SAW adalah pemahaman yang kurang tepat, karena Rasulullah memiliki keistimewaan khusus yang tidak bisa disamakan dengan manusia lainnya. Setiap masyarakat memiliki adat istiadat dan latar belakang budaya yang berbeda. Menyamakan diri dengan Rasulullah dalam hal ini tanpa memperhatikan konteks sosial dan budaya adalah tindakan yang kurang bijaksana.
Pernikahan adalah tanda kebesaran Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, dan sebaiknya dijalani dengan penuh persiapan fisik, mental, dan spiritual agar dapat menciptakan keluarga yang harmonis dan sejahtera. [Juliana Setefani Usaini]