almuhtada.org – Perang Lima Hari di Semarang pada 15–19 Oktober 1945 merupakan salah satu episode penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pertempuran ini bukan hanya sekadar bentrokan senjata antara pejuang Indonesia dan tentara Jepang, melainkan juga cerminan dari semangat rakyat yang menolak kembali terjajah setelah proklamasi kemerdekaan. Namun, di balik heroisme tersebut, terdapat berbagai penyebab yang melatarbelakangi pecahnya pertempuran
- Kekosongan Kekuasaan Pasca Proklamasi
Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kondisi di lapangan jauh dari kata stabil. Pemerintahan Republik yang baru berdiri masih rapuh, sementara pasukan Jepang yang sudah kalah perang dari Sekutu masih memegang senjata dan menguasai fasilitas penting di berbagai kota, termasuk Semarang.
Sejarawan Nugroho Notosusanto (1979) menjelaskan bahwa Jepang pada masa itu mendapat mandat dari Sekutu untuk menjaga status quo sampai pasukan Sekutu tiba. Namun, rakyat Indonesia menuntut Jepang menyerahkan senjata. Ketegangan ini menjadi bibit konflik yang sulit dielakkan.
- Keinginan Rakyat Merebut Senjata Jepang
Semangat kemerdekaan yang membara membuat para pemuda di Semarang merasa perlu menguasai senjata Jepang. Mereka sadar bahwa kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan masih sangat rentan, terutama dengan ancaman kembalinya Belanda melalui NICA bersama Sekutu.
Menurut catatan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993), upaya pemuda merebut senjata di berbagai daerah memang menjadi ciri umum pasca-proklamasi. Di Semarang, permintaan ini mendapat penolakan keras dari pihak Jepang, sehingga menambah ketegangan.
- Isu Air Minum Beracun
Salah satu pemicu langsung pecahnya pertempuran adalah peristiwa tragis terkait suplai air minum di Semarang. Saat itu, Jepang menguasai instalasi air di Candi, yang menjadi sumber utama kebutuhan warga kota. Ketika distribusi air terhambat, muncul isu bahwa Jepang sengaja meracuni air yang dialirkan ke masyarakat.
Kabar ini memicu kemarahan besar. Rakyat merasa hidup mereka sedang diancam bukan hanya oleh peluru, tetapi juga oleh kebutuhan paling dasar: air. Sejarawan Djoko Marihandono (2002) menegaskan bahwa isu racun inilah yang mempercepat pecahnya konflik, karena masyarakat merasa eksistensi mereka terancam.
2. Terbunuhnya dr. Kariadi
Nama dr. Kariadi menjadi sangat penting dalam konteks Perang Lima Hari. Beliau adalah seorang dokter yang mencoba memeriksa kebenaran isu racun dalam suplai air. Sayangnya, dalam perjalanan menuju instalasi air Candi, dr. Kariadi ditembak dan gugur.
Kematian dr. Kariadi bukan hanya kehilangan seorang tenaga medis, tetapi juga simbol bahwa Jepang tidak segan melawan rakyat meski yang dihadapi adalah orang yang ingin memastikan keselamatan masyarakat. Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia (Depdikbud, 1990), gugurnya dr. Kariadi menjadi pemicu emosional yang membuat bentrokan terbuka tak terhindarkan.
3. Semangat Kolektif Rakyat Semarang
Selain faktor teknis, hal yang tak kalah penting adalah semangat kolektif rakyat Semarang. Kota ini dihuni oleh beragam kelompok sosial: pegawai, pelajar, buruh, hingga masyarakat biasa. Saat kabar kemerdekaan terdengar, mereka merasakan harapan baru setelah puluhan tahun dijajah Belanda dan kemudian Jepang.
Ketika tanda-tanda ancaman muncul, rakyat bersatu. Pertempuran yang berlangsung lima hari itu menjadi bukti bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan sesuatu yang layak diperjuangkan bersama. Seperti disebutkan oleh Marwati Djoened Poesponegoro (1993), perlawanan rakyat di Semarang mencerminkan kesadaran kolektif untuk mempertahankan kemerdekaan, meski dengan peralatan yang jauh lebih sederhana dibanding tentara Jepang.
Perang yang Menyisakan Luka dan Harga Diri
Perang Lima Hari di Semarang memang berlangsung singkat, hanya lima hari. Namun, dampaknya sangat besar bagi perjalanan bangsa. Pertempuran ini menelan banyak korban jiwa, baik dari pihak pejuang, warga sipil, maupun tentara Jepang. Kota Semarang berubah menjadi saksi bisu perjuangan berdarah dalam mempertahankan harga diri kemerdekaan.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, Perang Lima Hari adalah pengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini dibayar dengan nyawa, air mata, dan keberanian. Kisah ini juga memberi pelajaran bahwa rasa takut bisa dikalahkan oleh harapan, dan penderitaan bisa berubah menjadi kekuatan ketika rakyat bersatu.[] Ikmal Setiawan