almuhtada.org – Di tengah dunia yang semakin terhubung tetapi sering kali terpolarisasi, isu toleransi menjadi sangat penting untuk dibahas. Islam, sebagai agama yang sering menjadi sorotan, memiliki pandangan yang mendalam mengenai toleransi tentang bagaimana seharusnya umat manusia menyikapi perbedaan.
Jauh dari citra kaku yang terkadang disematkan, inti ajaran Islam justru mempromosikan sikap saling menghargai dan hidup berdampingan secara damai. Konsep ini dikenal sebagai tasamuh.
Fondasi Toleransi dalam Islam
Dasar utama ajaran Islam tentang toleransi tertuang langsung dalam Al-Qur’an. Beberapa ayat kunci menjadi acuan bagi umat muslim dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain.
- Tidak Ada Paksaan dalam Agama: Ayat paling fundamental yang menegaskan kebebasan beragama adalah Surah Al-Baqarah ayat 256:
لَاإِكْرَاهَفِيالدِّينِ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”
Ayat ini secara tegas melarang pemaksaan keyakinan kepada siapa pun. Islam mengajarkan bahwa hidayah adalah hak prerogatif Tuhan, dan tugas manusia hanyalah menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik, bukan memaksakannya.
- Pengakuan Terhadap keberagaman: Islam mengakui bahwa keberagaman umat manusia adalah kehendak Allah SWT. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”
Tujuan penciptaan yang beragam ini bukanlah untuk saling bermusuhan, melainkan untuk saling mengenal (li ta’arafu). Ini adalah landasan teologis untuk membangun jembatan dialog dan kerja sama, bukan tembok pemisah.
- Landasan dalam bertoleransi: Dasar ajaran toleransi dalam Islam tertanam kuat dalam sumber-sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Salah satu ayat yang paling sering dirujuk untuk menggambarkan prinsip ini adalah Surat Al-Kafirun ayat 6:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْن
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Ayat ini secara tegas menetapkan batas-batas keyakinan tanpa adanya paksaan. Ia merupakan pengakuan akan adanya kemajemukan agama dan sebuah deklarasi non-intervensi dalam urusan akidah.
Praktik Toleransi yang Diajarkan Rasulluloh
Sejarah peradaban Islam mencatat berbagai contoh praktik toleransi yang dilembagakan. Salah satu yang paling monumental adalah Piagam Madinah. Konstitusi yang digagas oleh Rasulluloh setelah hijrah ke Madinah ini mengatur kehidupan bersama antara kaum Muslimin dengan berbagai suku dan komunitas Yahudi. Piagam ini menjamin kebebasan beragama, keamanan, dan kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh warga Madinah, terlepas dari latar belakang agama mereka.
Di masa selanjutnya, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Aelia (Yerusalem) menjadi bukti lain dari praktik toleransi. Setelah penaklukan Yerusalem, Khalifah Umar memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Kristen, gereja-gereja mereka, dan properti mereka. Ia bahkan menolak untuk shalat di dalam Gereja Makam Kudus agar tidak menjadi preseden bagi pengambilalihan gereja tersebut oleh umat Islam di masa depan.
Batasan dalam Bertoleransi
Penting untuk dipahami bahwa toleransi dalam Islam memiliki batasan yang jelas. Tasamuh tidak berarti mencampuradukkan akidah dan ibadah (sinkretisme). Prinsip lakum dīnukum wa liya dīn menjadi pagar pemisah yang tegas dalam ranah teologis. Toleransi dalam Islam berfokus pada ranah sosial (muamalah), yaitu bagaimana membangun interaksi yang adil, baik, dan penuh hormat dalam kehidupan bermasyarakat.
Para ulama menegaskan bahwa toleransi mencakup:
- Tidak mengganggu ibadah pemeluk agama lain.
- Saling menolong dalam urusan kemanusiaan.
- Berbuat adil dan tidak mendiskriminasi dalam hukum dan pergaulan sosial.
- Menjaga hubungan baik dengan tetangga, kerabat, dan rekan kerja yang berbeda keyakinan.
Rasulullah saw. memberikan teladan dalam berinteraksi dengan non-Muslim. Beliau menjenguk tetangganya yang Yahudi ketika sakit, berbisnis dengan mereka, dan selalu menunjukkan akhlak yang mulia. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan, “Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.”
Dengan demikian, Islam memandang toleransi bukan sebagai tanda kelemahan iman, melainkan sebagai cerminan dari kedalaman pemahaman ajaran agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ia adalah sebuah prinsip fundamental yang mengajarkan umatnya untuk hidup berdampingan secara damai, menghargai perbedaan sebagai anugerah, dan bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih adil dan beradab. []Ghazi Ubaidillah