almuhtada.org – Setiap manusia yang terlahir di muka bumi ini tentu pernah merasakan apa itu ujian hidup, baik berupa kegagalan, kekecewaan, kehilangan, ataupun sakit hati. Kondisi seperti ini terkadang membuat manusia larut dalam kesedihan bahkan merasa jauh dari kebahagiaan.
Namun, dalam ajaran tasawuf, ujian-ujian yang dialami oleh manusia tidak selalu dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Para sufi melihat bahwa di balik setiap ujian yang dihadapi manusia ada sebuah ruang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pemikiran ini tercermin dari percakapan beberapa tokoh sufi besar, seperti Hasan al-Bashri, Syaqiq al-Balkhi, Malik bin Dinar, dan Rabiah al-Adawiyah. Melalui dialog mereka, kita dapat memahami tingkatan-tingkatan dalam menyikapi ujian, mulai dari tabah, bersyukur, bergembira, hingga mencapai ridha penuh kepada Allah.
Pemikiran ini tercermin dalam kisah beberapa tokoh sufi besar tentang sebuah ujian dan penderitaan. Suatu ketika ada beberapa sufi besar yang sedang berjalan bersama, diantaranya yaitu Rabiah al-Adawiyah, Hasan al-Bashri, Syaqiq al-Balkhi, dan Malik bin Dinar. Dalam perjalanan tersebut, mereka berdiskusi tentang bagaiamana seharusnya sikap manusia ketika menghadapi sebuah ujian.
Percakapan ini diawali oleh Imam Hasan al-Bashri, beliau berpendapat bahwasanya “Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak tabah menghadapi ujian dari Allah”. Menurut beliau, keimanan seseorang dapat kita lihat ketika ia berada dalam kesulitan, bukan ketika ia hidup dalam kenyamanan.
Beliau menekankan bahwa ketabahan adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh seseorang ketika menghadapi ujian, karena orang yang tabah tidak akan lari dari ujian, meskipun hatinya terluka. Artinya, menerima bahwa hidup memang tidak selalu berjalan sesuai keinginan.
Akan tetapi, menurut Rabiah ternyata hal ini belum cukup. Kemudian Syaqiq al-Balkhi mencoba menjawab maksud dari Rabiah dengan tingkatan yang lebih tinggi. Beliau berpendapat bahwasanya “Seseorang tidak cukup hanya dengan ketabahan saja, melainkan juga harus dengan rasa syukur atas ujian yang diberikan”. Menurut beliau, ujian merupakan sarana pembersihan hati, penghapus dosa, sekaligus jalan untuk meningkat keimanan. Seseorang yang mampu bersyukur ketika mendapatkan sebuah cobaan menunjukkan bahwa di balik kesulitan pasti ada hikmah.
Meskipun pendapat ini lebih kuat dari sebelumnya, ternyata itu juga dianggap belum cukup oleh Rabiah al-Adawiyah. Kemudian Malik bin Dinar mencoba berpendapat dengan tingkatan yang lebih tinggi. Beliau berpendapat bahwa “Seseorang baru benar-benar teruji apabila ia bisa gembira atas ujian yang menimpanya”. Hal ini tentu sebuah tingakatan yang lebih tinggi dan lebih sulit, karena kegembiraan biasanya muncul dari sesuatu yang menyenangkan, bukan dari ujian dan penderitaan.
Bagi beliau, jika seseorang memiliki keimanan yang kuat, maka ujian dan penderitaan yang menimpanya akan dianggap sebagai bentuk kasih sayang Allah. Rasa gembira lahir karena keyakinan bahwa Allah selalu hadir di balik kesulitan. Dalam pandangan Malik ini, penderitaan justru menjadi sumber kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya. Akan tetapi, pendapat ini juga dianggap belum cukup oleh Rabiah. Kemudian para sufi ini bertanya kepada Rabiah, “lalu, yang cukup menurut anda ini seperti apa?”.
Rabiah mengganggap bahwa semua pandangan sebelumnya masih berputar pada ujian-Nya, bukan pada Allah. Menurut beliau, “seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya bila ia tidak melupakan ujian ketika merenungi Tuhannya”. Artinya, ketika seseorang mengingat Allah, maka ia siap menerima apapun yang Allah berikan, meskipun ujian tersebut belum datang kepadanya.
Tingkatan ini merupakan tingkatan cinta, ketika seseorang tidak lagi meminta kemudahan ataupun kesenangan dari, ia hanya meminta agar tidak pernah dijauhkan dari-Nya. Inilah tingkatan rida tertinggi, ketika hati tidak lagi terikat oleh suka maupun duka, melainkan hanya oleh cinta kepada Allah.
Pertanyaannya, saat ini kita ada di level mana? Sebagian besar dari kita mungkin masih berada di tahap pertama, yaitu berusaha tabah ketika patah hati atau mendapat cobaan hidup. Itu pun kadang masih goyah. Namun, belajar dari para sufi, kita bisa terus melatih diri agar naik tingkat dari tabah, menuju syukur, lalu gembira, hingga akhirnya rida total kepada Allah.
Patah hati, kegagalan, dan segala bentuk ujian adalah bagian dari kehidupan. Dalam perspektif tasawuf, ujian tidak dimaksudkan untuk melemahkan kita, melainkan untuk menguatkan hubungan kita dengan Allah SWT. Pesan terpenting dari Rabiah adalah “jangan biarkan ujian menjauhkan kita dari Allah, karena yang terpenting bukan apa yang menimpa kita, melainkan bagaimana hati ini tetap terhubung dengan-Nya”.
Semoga setiap luka dan kesedihan yang kita alami, sekecil apapun itu, dapat menjadi jalan untuk semakin dekat kepada Allah SWT. []Sahrul Mujab