Almuhtada.org – Tragedi Juliana Marins, wisatawan Brazil yang tewas terjatuh 600 meter di Gunung Rinjani, memicu pertanyaan publik: mengapa helikopter tidak bisa menyelamatkannya? Banyak yang mengira operasi penyelamatan dengan helikopter semudah yang terlihat di film Hollywood. Kenyataannya, ada batasan teknis yang tidak bisa dinegosiasikan.
Batasan Teknis BASARNAS
BASARNAS memiliki armada helikopter AgustaWestland AW139 (1 unit) dan Airbus AS365 (beberapa unit). Namun, kemampuan kedua jenis helikopter ini terbatas untuk operasi di ketinggian ekstrem.
Lokasi kejadian berada di ketinggian 10.000 kaki, dengan korban jatuh ke lereng di 9.400 kaki. Angka ini menjadi masalah utama karena keterbatasan kemampuan hover helikopter.
Dilema Hover: IGE vs OGE
Untuk operasi hoisting (menurunkan rescuer dengan tali), helikopter harus bisa hover stabil. Ada dua jenis hover:
Hover In Ground Effect (IGE): Helikopter memanfaatkan bantalan udara dari putaran rotor yang memantul dari tanah. Efektif hanya 10-15 meter di atas permukaan datar – jelas tidak cocok untuk lereng curam.
Hover Out of Ground Effect (OGE): Kemampuan hover tanpa bantuan efek tanah. Inilah yang dibutuhkan di lereng gunung, dan di sinilah masalahnya muncul.
Angka yang Tak Terbantahkan
● AW139: Hover OGE maksimum 8.130 kaki
● AS365: Hover OGE maksimum 3.740 kaki
● Lokasi korban: 9.400 kaki
Secara fisik, helikopter BASARNAS tidak mampu melakukan hoisting di lokasi tersebut, meskipun cuaca ideal sekalipun. Bahkan helikopter militer Black Hawk hanya mampu hover OGE maksimum 6.200 kaki.
Mengapa Evakuasi di Sembalun Bisa Dilakukan?
Tim penyelamat berhasil dievakuasi dari Sembalun karena lokasinya hanya 3.000 kaki, masih dalam jangkauan helikopter sipil Bell 206L4 yang beroperasi hingga 6.500 kaki. Namun, helikopter ini pun tidak bisa mencapai lokasi korban.
Faktor Cuaca yang Rumit
Selain ketinggian, operasi helikopter di pegunungan bergantung pada:
● Angin kencang yang berubah tak terduga
● Kabut tebal dan hujan
● Arus udara naik-turun (updraft/downdraft) yang berbahaya
● Efek topografi yang menciptakan turbulensi
Realitas vs Hollywood
Film action sering menampilkan helikopter melakukan manuver ekstrem tanpa batasan. Kenyataannya, setiap helikopter memiliki “amplop operasional” ketat yang ditentukan oleh:
● Density altitude (ketinggian efektif dengan suhu/kelembaban)
● Berat total helikopter
● Kekuatan mesin dan efisiensi rotor
● Kondisi atmosfer
Melanggar batasan ini tidak hanya membahayakan misi, tetapi bisa menambah korban.
Kasus Juliana memunculkan dilema: antara tekanan moral menyelamatkan nyawa dengan tanggung jawab tidak membahayakan lebih banyak orang. Keputusan tidak menggunakan helikopter bukanlah ketidakpedulian, melainkan perhitungan risiko yang realistis.
Maka
Pertama, publik perlu memahami keterbatasan teknologi penyelamatan agar ekspektasi lebih realistis.
Kedua, Indonesia perlu mempertimbangkan investasi helikopter SAR dengan kemampuan ketinggian lebih tinggi.
Ketiga, pencegahan tetap lebih baik – diperlukan briefing keselamatan yang lebih komprehensif dan sistem tracking canggih untuk pendaki.
Kesimpulan
Heroisme sejati dalam SAR bukan berarti mengambil risiko berlebihan, tetapi membuat keputusan bijak berdasarkan kemampuan teknis. Realitas operasi penyelamatan tidak pernah sesederhana di film – ada hukum fisika dan batasan teknis yang harus dihormati demi keselamatan semua pihak. [] Raffi Wizdaan Albari