Menelisik Makna Dibalik Kalimat “Setiap Kita Adalah Ibrahim dan Setiap Ibrahim Pasti Memiliki Ismail Versinya Masing-masing”

Gambar Ilustrasi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (pinterest.com - almuhtada.org)

almuhtada.org – Sebagai Umat Islam tentu kita sudah tidak asing lagi dengan kalimat ini, khususnya saat umat Islam memperingati Idul Adha. Kalimat itu adalah “Setiap kita adalah Ibrahim, dan setiap Ibrahim tentu memiliki Ismail dengan versinya masing-masing.”

Sebuah kalimat sederhana, namun ternyata memiliki makna yang layak kita renungkan. Sebab, kalimat ini tak hanya merujuk pada peristiwa sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, tetapi juga menjadi cermin atas perjalanan ujian yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi… Apa sebenarnya maksud dari kalimat tersebut? Mengapa setiap kita diibaratkan sebagai Ibrahim? Dan siapa Ismail kita? Seperti yang sering dijelaskan para guru dan ulama, Ismail bukan semata-mata seorang anak dalam kisah Nabi Ibrahim.

Ismail yang dimaksud disini itu bisa berupa hartamu, jabatanmu, mimpimu, atau bahkan egomu sendiri. Ismail disini umpamanya adalah segala sesuatu yang kita cintai, kita genggam erat, dan seringkali kita anggap sebagai milik kita seutuhnya. Ismail adalah semua hal yang kita relakan waktu, tenaga, dan bahkan jiwa kita untuk menjaganya.

Namun, di sinilah letak ujian yang sesungguhnya. Nabi Ibrahim tidak diperintahkan Allah untuk membunuh Nabi Ismail, sebagaimana yang selama ini sering kita pahami secara tekstual. Yang Allah inginkan dari Ibrahim adalah mengikis habis rasa kepemilikan Ibrahim terhadap sesuatu yang pada hakikatnya bukan miliknya, yaitu anaknya Ismail. Sebab, pada akhirnya, semua yang kita miliki baik anak, harta, jabatan, kesehatan, atau apapun adalah titipan dari Allah, dan hanya kepada-Nya semua itu akan kembali.

Baca Juga:  Manfaat Sedekah Subuh dan Keistiqamahannya Bagi Umat Muslim

Kalimat ini mengingatkan kita bahwa dalam perjalanan hidup, kita masing-masing akan diuji dengan “Ismail” kita. Bagi sebagian orang, Ismailnya adalah kekayaan yang diperjuangkan mati-matian, bahkan hingga lupa untuk beribadah. Bagi yang lain, Ismail bisa saja berupa jabatan yang membuatnya merasa paling berkuasa dan tak butuh nasihat orang lain. Ada pula yang Ismailnya adalah ego dan harga diri, yang membuatnya sulit meminta maaf, sulit mengalah, dan sulit mengakui kesalahan. Setiap orang memiliki Ismail versinya masing-masing, dan setiap Ismail itu akan diuji sejauh mana kita mampu merelakan dan menyerahkan kembali kepada Allah tanpa merasa kehilangan.

Di balik kalimat ini juga tersembunyi pesan tentang keikhlasan dan kepasrahan. Ibrahim sebenarnya bukanlah mereka yang hanya mampu mengorbankan sesuatu secara lahiriah, tetapi mereka yang sanggup membunuh rasa kepemilikan dalam hatinya terhadap dunia. Karena dunia ini, seindah dan semenggiurkan apapun, hanyalah sementara. Ismail kita hanyalah amanah, bukan milik mutlak.

Maka, setiap kita yang hidup di dunia ini harus siap menjadi Ibrahim. Siap diuji dengan Ismail kita masing-masing. Siap diminta Allah untuk melepaskan sesuatu yang kita cintai, demi membuktikan bahwa cinta kita kepada Allah adalah yang tertinggi. Dan pada akhirnya, pengorbanan terbesar bukanlah saat kita menyerahkan harta, jabatan, atau anak-anak kita, tetapi saat kita menyerahkan hati kita seutuhnya hanya untuk Allah.

Baca Juga:  Perang Iran dan Israel: Ketegangan Abadi di Timur Tengah

Kalimat “Setiap kita adalah Ibrahim, dan setiap Ibrahim pasti memiliki Ismail dengan versinya masing-masing” menjadi pengingat bagi kita Umat Islam. Bahwa hidup ini adalah perjalanan menguji cinta dan keikhlasan kita. Bahwa tak ada satu pun yang benar-benar kita miliki di dunia ini. Dan bahwa sebaik-baik Ibrahim adalah dia yang berhasil menaklukkan Ismail dalam dirinya, demi meraih ridha Allah semata. [Aisyatul Latifah] 

Related Posts

Latest Post