Persetujuan dalam Pernikahan: Tinjauan Hukum Indonesia dan Islam

Ilustrasi orang yang sedang melangsungkan pernikahan (Freepik.com - almuhtada.org)

Almuhtada.org – Pernikahan adalah ikatan resmi antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membangun keluarga yang bahagia dan langgeng sesuai ajaran agama. Dalam hukum Indonesia, pernikahan hanya dianggap sah jika kedua calon mempelai sepakat untuk menikah. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksananya.

Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa, “Pernikahan harus dilakukan atas dasar persetujuan kedua calon mempelai.” Artinya, tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun, baik dari keluarga maupun orang lain. Jika salah satu pihak tidak setuju, maka pernikahan tersebut tidak sah menurut hukum.

Persetujuan ini juga penting karena pernikahan dipandang sebagai bentuk perjanjian. Dalam hukum perjanjian, sebuah kesepakatan baru sah jika kedua belah pihak benar-benar setuju. Maka dari itu, bila hanya satu pihak yang setuju atau terjadi tekanan, pernikahan tidak memiliki kekuatan hukum.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), prinsip persetujuan juga sangat ditegaskan. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa, “Pernikahan harus berdasarkan persetujuan calon pengantin.” Dalam hukum Islam di Indonesia, pernikahan tidak bisa dipaksakan meskipun dalam kitab-kitab fiqh klasik dikenal istilah wali mujbir, yaitu wali yang boleh menikahkan anak perempuannya tanpa izin. Dalam konteks hukum Islam Indonesia, hak perempuan untuk menyetujui pernikahan sangat dihormati.

Baca Juga:  Waktu - Waktu yang Disunahkan dan Dilarang menggunakan Parfum dalam Islam

Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya persetujuan dalam pernikahan. Dalam Surah An-Nisa ayat 19, Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mewarisi wanita dengan cara memaksa…”

Ayat ini menunjukkan bahwa memaksa perempuan menikah adalah tindakan yang tidak dibenarkan. Artinya, perempuan harus menikah atas dasar keinginan dan kerelaannya sendiri.

Hal ini juga ditegaskan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi bersabda:

“Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan gadis dimintai persetujuannya, dan persetujuannya adalah diamnya.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menjelaskan bahwa perempuan memiliki hak penuh atas keputusan menikah atau tidak. Bagi perempuan yang belum pernah menikah (gadis), diamnya saat ditanya dapat dianggap sebagai tanda setuju, selama tidak ada unsur paksaan.

Kesimpulannya, baik menurut hukum negara maupun ajaran Islam, pernikahan hanya sah jika kedua calon mempelai benar-benar setuju. Ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan sekadar upacara formal, tapi juga harus didasari oleh kemauan dan kesiapan dari kedua belah pihak untuk membangun rumah tangga bersama. []MUHAMMAD NABIL HASAN

Related Posts

Latest Post