almuhtada.org – Dalam materi pernikahan, kriteria calon pendamping hidup tentu saja menjadi pertanyaan yang hampir selalu muncul. Misal, apa kriteria calon idamanmu?, nanti kamu mau orang yang jadi pendamping mu kayak gimana?, dll.
Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, biasanya kita hanya menjawabnya secara gamplang, seperti contohnya yang alim, yang tau agama, yang saleh atau salehah, yang cakep, yang finansial nya baik, dll. Tanpa tau perbedaan saleh dengan alim. Pada umumnya, masyarakat mengartikan dua kata itu dengan makna yang sama, padahal arti keduanya sangat berbeda. Orang saleh itu akhlaknya baik, sedangkan orang alim pengetahuannya yang baik. Itulah sebabnya kesalehan hendaknya ditempatkan pada urutan pertama sebelum alim. Mengapa? Karena orang yang alim belum tentu saleh.
Ada orang yang ilmunya baik, tetapi tidak bisa mengamalkannya. Ada orang yang mempelajari ilmu agama dengan niat tidak benar untuk meraih gelar akademis, agar terlihat berilmu di masyarakat, agar dipanggil kiai atau ustad, dan seterusnya. Itulah sebabnya, dalam agama, kita mengenal istilah ulama’ sü’, yakni ulama yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk meraih kemewahan dunia. Ia tak segan-segan membelokkan dalil agama untuk kepentingan dunianya.
Padahal, orang berilmu harusnya saleh. Dalam literatur agama kita, istilah ulama merujuk pada pribadi yang baik ilmunya, besar pula rasa takutnya kepada Allah. Pemahaman agamanya pun baik sehingga makin tinggi ketaatan dan penjagaan dirinya dari segala yang dilarang-Nya.
Ada sebuah cerita tentang seseorang yang disebut sufi, pada siang Ramadhan, dia terang-terangan makan di depan umum sehingga masyarakat memakinya, “Ulama, kok malah nggak puasa.” Konon, tujuannya memang agar masyarakat merendah-kannya, agar dia tidak dihormati dan tidak menjadi orang yang sombong.
Lalu, bagaimana kita bisa menilai kesalehan seseorang? Jika kesalehan hanya Allah yang tahu, siapa yang layak untuk kita pilih sebagai pendamping?
Ikhtiar manusia memang hanya sebatas pada apa yang bisa ia nilai. Sementara urusan hati, karena hanya Allah yang tahu, kita tidak bisa menjadikannya sebagai parameter penilaian. Yang kita tahu, hati yang baik akan berdampak pada perilaku yang baik. Bagaimana kita mengetahui seorang berhati jujur? Mudahnya, lihat apakah saat ujian dia nyontek, suka titip absen, suka berdusta, tidak bisa menjaga kepercayaan dan tanggung jawab. Kalau iya, berarti dia bukan orang yang jujur.
Bagaimana kita menilai seseorang taat pada agama atau tidak? Yang bisa kita lihat adalah shalat dan puasanya, ia suka bermaksiat atau tidak, dan seterusnya. Yang kita jadikan sandaran pemilihan tentu saja apa yang bisa kita nilai.
Kalau kita renungkan, apakah Rasulullah dan para sahabat pernah meneladankan untuk bermaksiat di depan umum dengan tujuan masyarakat mengenalnya sebagai orang yang buruk, sehingga tak tergoda untuk ujub dan takabur? Tidak. Cukup berperilaku secara wajar, beribadah secara wajar. Terserah penilaian manusia terhadap kita. Yang penting kita meniatkan hanya untuk Allah, bukan demi pujian sesama.
Jika ada dua orang melamar kamu, yang pertama ahli ibadah, akhlaknya baik, sensitivitas sosialnya juga tinggi, sedangkan yang kedua suka berbuat maksiat, teman-temannya tidak percaya kepadanya, tidak santun kepada orangtua, terkenal sebagai pribadi yang egois dan individualis, tentu kamu bisa menilai, mana yang layak dipilih.
Rasanya tak bijak jika kamu memutuskan untuk memilih orang kedua dengan dalih, “Bisa jadi, dia lebih mulia di hadapan Tuhan. Bisa jadi, orang kedua yang hatinya lebih baik.” Pilih yang dalam pandangan kita dan penilaian orang-orang terdekatnya baik. Semoga Allah pun memilihkan pendamping hidup yang tepat karena kita sudah berikhtiar semampu kita. []Shokifatus S
Editor:
Qoula Athoriq Qodi