almuhtada.org –Suatu hari, Rasulullah SAW menugaskan seorang sahabatnya, Tsa’labah bin Abdurrahman, untuk menjalankan sebuah tugas. Dengan penuh antusiasme, pemuda Anshar tersebut melaksanakan amanahnya. Namun, dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja ia melihat seorang wanita sedang mandi di salah satu rumah di Madinah. Wanita itu dalam keadaan tanpa busana. Mengingat bentuk dan struktur rumah-rumah di Madinah pada masa itu cukup sederhana, bagian dalam rumah sering kali terlihat dari luar.
Peristiwa itu begitu mengguncang hati Tsa’labah. Sebagai seorang pemuda yang taat beragama, ia tidak merasa senang, justru sebaliknya, ia dipenuhi kegelisahan dan ketakutan luar biasa. Ia merasa telah melakukan kesalahan besar meskipun pandangannya tidak disengaja. Yang paling ditakutkannya adalah jika Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW mengenai perbuatannya.
Karena diliputi kecemasan, Tsa’labah memilih untuk meninggalkan Madinah daripada kembali dan melaporkan tugasnya kepada Rasulullah SAW. Ia pergi ke sebuah perbukitan yang terletak di antara Madinah dan Makkah, lalu bersembunyi di dalam gua. Di sana, ia menghabiskan waktunya dengan merenung dan terus memohon ampun kepada Allah.
Setiap malam, ia keluar dari guanya, menatap langit dengan tangan terangkat sambil berdoa, “Ya Allah, mengapa Engkau tidak mencabut nyawaku saja?” Begitu dalam penyesalan yang ia rasakan.
Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya tepat 40 hari sejak ia menghilang. Pada hari ke-40, Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah SAW dan menyampaikan sebuah pesan dari Allah.
“Wahai Muhammad, Tuhanmu mengirimkan salam untukmu dan berfirman, ‘Ada seorang laki-laki dari umatmu yang kini berada di gunung, memohon perlindungan kepada-Ku’,” kata Jibril.
Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW segera mengutus Umar bin Khattab dan Salman al-Farisi untuk mencari Tsa’labah. Keduanya ditugaskan untuk membawanya kembali ke Madinah. Dalam perjalanan, mereka bertemu seorang penggembala kambing bernama Dzufafah.
Umar bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau melihat seorang pemuda bernama Tsa’labah? Kami mendengar kabar bahwa ia tinggal di bukit ini selama beberapa pekan.”
Dzufafah menjawab, “Mungkin yang kalian cari adalah pemuda yang menghindari neraka jahanam?”
Umar terkejut dan bertanya lagi, “Mengapa engkau mengatakan demikian?”
Dzufafah menjelaskan bahwa setiap malam pemuda itu keluar dari persembunyiannya dengan tangan di atas kepala, seraya berdoa, “Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak mencabut nyawaku dan mengakhiri penderitaanku?”
Setelah mendengar cerita itu, Umar dan Salman yakin bahwa yang dimaksud adalah Tsa’labah. Mereka pun segera menuju tempat persembunyiannya bersama Dzufafah. Ketika malam tiba, mereka benar-benar melihat pemuda itu keluar dan melakukan apa yang telah diceritakan oleh penggembala tadi.
Tanpa ragu, Umar mendekatinya dan langsung memeluknya erat. Terkejut, Tsa’labah bertanya, “Wahai Umar, apakah Rasulullah SAW sudah mengetahui keadaanku?”
Umar tidak memahami maksud pertanyaannya, tetapi ia memastikan bahwa Rasulullah SAW telah lama menantikan kepulangannya. “Kemarin beliau menyebut namamu dan mengutus kami untuk mencarimu,” jawab Umar.
Setelah dibujuk, Tsa’labah akhirnya bersedia kembali ke Madinah, dengan satu permintaan, yakni ia ingin bertemu dengan Rasulullah SAW di masjid setelah shalat. Keesokan harinya, seusai shalat Subuh, ia pun dipertemukan dengan Nabi SAW.
“Mengapa engkau menghindar dariku?” tanya Rasulullah SAW. Tsa’labah pun menceritakan seluruh kejadian yang telah dialaminya.
Nabi SAW kemudian mengingatkannya tentang ayat-ayat pengampunan dosa, lalu membacakan Surah Al-Baqarah ayat 201.
Setelah kembali ke rumahnya, Tsa’labah jatuh sakit. Rasulullah SAW bersama para sahabat datang menjenguknya. Ketika Nabi SAW meletakkan kepala Tsa’labah di pangkuannya, pemuda itu perlahan-lahan menggesernya.
Nabi SAW bertanya, “Mengapa engkau menjauhkan kepalamu dari pangkuanku?”
“Wahai Rasulullah,” jawabnya, “kepalaku penuh dengan dosa.”
“Lalu, apa yang engkau harapkan?”
“Ampunan dari Tuhanku,” jawabnya lirih.
Pada saat itu, Jibril turun kembali dengan membawa wahyu. “Wahai Muhammad,” kata sang malaikat, “Tuhanmu mengirimkan salam untukmu dan berfirman, ‘Jika hamba-Ku ini menemui-Ku dengan dosa sebesar bumi, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan yang sama luasnya’.”
Begitu mendengar wahyu tersebut, Tsa’labah langsung berseru penuh kebahagiaan. Namun, tak lama setelah itu, ia mengembuskan napas terakhirnya.[]Ahmad Firman Syah
Editor : Juliana Setefani Usaini