Almuhtada.org – Dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi menjadi aspek penting yang selalu membersamai kita dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Kemampuan berbicara dengan baik adalah sebuah soft skill yang patut disyukuri karena dapat membantu menyampaikan pendapat, bertegur sapa, mencari pekerjaan, dan masih banyak lagi.
Namun, dalam kondisi tertentu, kita justru dianjurkan untuk diam daripada mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat.
Salah satunya, ketika mendengar teman sedang ghibah atau membicarakan keburukan orang lain.
Islam melarang dengan keras perbuatan tercela berupa ghibah, fitnah, dan semacamnya, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 12:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Dan sebagaimana pula yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi:
“Barang siapa menahan ghibah terhadap saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka kelak pada hari kiamat.” (HR Tirmidzi)
Terlibat dalam percakapan seperti ghibah tidak hanya bisa merugikan orang yang dibicarakan, tetapi juga bisa berakibat buruk bagi diri kita sendiri.
Jangan sampai kita mendapatkan hal yang sama dengan apa yang dighibahkan. Naudzubillah.
Meskipun apa yang dibahas dalam ghibah adalah sesuatu yang benar, sebisa mungkin kita harus menghindarinya.
Biarlah hal itu menjadi urusannya sendiri. Jika memang diperlukan, kita bisa menasehati dan membantunya.
Dalam situasi seperti yang sudah disebutkan, diam adalah pilihan terbaik agar kita tidak terjerumus dalam pembicaraan yang sia-sia atau bahkan berujung pada fitnah.
Berbicara terlalu banyak bisa meningkatkan peluang untuk melakukan kesalahan.
Semakin banyak kata yang keluar, semakin besar kemungkinan kita menyakiti, menyinggung, atau disalahartikan oleh orang lain.
Oleh karena itu, penting untuk memahami kapan harus berbicara dan kapan harus menahan diri untuk diam.
Dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawi karangan Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت … (رواه البخاري ومسلم
Artinya: “Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau memilih untuk diam ..” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita berupaya menjaga perkataan agar memperoleh kebaikan dan tergolong sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah serta hari akhir dengan menjaga lisan kita. [] Nihayatur Rif’ah