almuhtada.org – Jika berbicara tentang sahabat Nabi yang Bernama Ukasyah bin Mihshan, maka kemungkinan pembaca akan teringat dengan kisah yang berkaitan dengan cambuk kepada Nabi. Pada kesempatan kali ini, akan diceritakan ksiah tersebut dan pendapat ulama tentang itu.
Ukasyah bin Mihshan adalah sahabat Nabi yang mengikutinya dalam Perang Badar dan perang-perang lainnya, serta merupakan sahabat yang diberikan kabar gembira bahwa Ukasyah dimasukkan surga tanpa hisab (hal ini diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari dan juga Sahih Muslim). Beliau berasal dari Bani Ghanam yang merupakan keturunan Bani Asad bin Khuzaimah.
Dikisahkan bahwa setelah turunnya Q.S An-Nasr ayat 1-3, Nabi Muhammad Saw. mengatakan, “Wahai Jibril, diriku telah dipanggil (untuk wafat)”. Kemudian Jibril mengatakan “Akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia. Dan, pasti Tuhanmu akan memberikan (sesuatu) rahmat kepadamu sehingga kamu merasa ridha.”
Kemudian, dikisahkan bahwa Rasulullah menyeru ‘Asshalatu jami’ah!’, dan kaum Muhajirin dan Anshar pun berkumpul di Masjid Nabawi. Setelahnya, Nabi memimpin shalat, naik ke atas mimbar dan memuji Allah SWT. lalu menyampaikan khutbah yang menggetarkan hati. Setelah itu beliau bertanya, “Wahai manusia, bagaimanakah aku ketika menjadi Nabi bagi kalian?”
Para sahabat kemudian menjawab, “Semoga Allah SWT. memberikan balasan kebaikan atas kenabianmu wahai Nabi. Engkau bagaikan ayah yang penyayang serta saudara yang bijak dan baik hati bagi kami. Engkau telah menunaikan seluruh risalah Allah, menyampaikan wahyu-Nya, dan berdakwah dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Kami berdoa kepada Allah SWT semoga engkau dibalas sebaik-baik balasan sebagai terima kasih umat kepada Nabinya.”
Rasulullah kemdian bersabda, “Wahai kaum muslimin, aku meminta kalian dengan nama Allah SWT dan hakku atas kalian, siapa saja yang pernah aku zalimi hendaklah ia berdiri dan meminta qishash (pembalasan setimpal) dariku sebelum qishash di hari kiamat kelak.” Namun tidak ada satu orang pun dari kaum muslimin yang berdiri. Rasulullah pun mengulanginya dan tidak ada yang berdiri lagi. Kemudian, beliau mengucapkan untuk yang ketiga kaliya, kemudian ada seorang tua yang berdiri, beliau lah Ukasyah bin Mihshan.
Ukasyah pun berkata, “Demi ayah dan ibuku. Andai engkau tidak mengucapkan kalimat itu sampai tiga kali, pasti aku tidak akan maju. Dulu, aku pernah bersamamu dalam satu perang. Ketika Allah SWT. memenangkan kita dan menolong Nabi-Nya, di saat akan kembali untaku sejajar dengan untamu. Aku turun dari untaku dan mendekatimu untuk mencium pahamu, Namun, tiba-tiba engkau mengangkat pecut dan pecut itu mengenai perutku. Aku tidak tahu, apakah kejadian itu engkau sengaja atau engkau ingin memecut unta.
Rasulullah menjawab, “Wahai Ukasyah, aku berlindung kepada Allah dari memecutmu dengan sengaja. Wahai Bilal. Pergilah engkau ke rumah Fathimah, dan ambilkan pecut yang tergantung.” Bilal langsung meninggalkan masjid dan menuju rumah Fatimah, ia menepuk jidatnya sambil berkata, “Ini Utusan Allah meminta dirinya untuk diqisas (dibalas)!”
Sesampainya di rumah Fatimah, Bilal langsung mengetuk pintu dan berkata, “Wahai Fatimah, ambilkan pecut yang tergantung itu dan berikan kepadaku.” Fatimah bertanya, “Wahai Bilal. Apa yang akan dilakukan ayahku dengan pecut ini? Padahal hari ini bukan hari haji dan bukan hari perang.”
Bilal menjawab, “Wahai Fatimah, engkau pasti tahu akhlak ayahmu. Beliau akan berpisah dari agama ini dan meninggalkan dunia ini serta meminta qishash terhadap dirinya.” Fatimah menanggapi, “Bilal, siapa orang yang teganya menuntut qishas atas Rasulullah? Mintalah Hasan dan Husein untuk menggantikannya dan jangan mengqishas Rasulullah.”
Bilal kemudian Kembali ke masjid dan memberikan tali itu kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah mmeberikannya kepada Ukasyah. Abu Bakar dan Umar yang melihat itu pun berkata, “Wahai Ukasyah, sekarang kami ada dihadapanmu maka qishas saja kami dan jangan qishas Rasulullah.” Rasulullah berkata kepada Abu Bakar dan Umar, “Diamlah kalian berdua, wahai Abu Bakar dan Umar. Allah tahu ketinggian derajat kalian berdua.”
Kemudian Ali, Hasan dan Husein juga berusaha untuk mejadi pengganti Rasulullah namun semuanya ditolak dan diminta duduk kembali oleh Rasulullah. Kemudian, Rasulullah berkata kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah, silahkan. Pecutlah aku.” Ukasyah menanggapi, “Wahai Rasulullah, dulu engkau memecutku dalam keadaan perutku terungkap.” Maka Rasullah menyingkap pakaian beliau. Kaum muslimin yang melihat itu pun menangis dan menegur Ukasyah, “Apakah engkau betul-betul akan memecut Rasulullah, wahai Ukasyah?!”
Ukasyah yang melihat perut Rasulullah langsung mendekat dan menciumi perut Rasulullah. Kemudian Ukasyah berkata, “Demi ayah dan ibuku, siapa orang yang tega melakukan pembalasan kepadamu, wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “lalu katakanlah, apa kau akan mengqishasku atau memaafkanku?”
Ukasyah menjawab, “Sungguh aku telah memaafkanmu karena aku berharap mendapatkan ampunan dari Allah pada hari Kiamat.” Lalu Rasulullah pun berkata, “Siapa yang ingin melihat temanku di surga nanti, lihatlah kakek ini.” Umat muslim langsung mengerumuni Ukasyah sambil berkata, “Sungguh beruntung engkau! Beruntungnya engkau! Engkau telah memperoleh banyak derajat dan kebersamaan dengan Rasulullah Saw. (di surga)!’” (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 2676, Hilyah al-Auliya, Abu Nu’aim, 4 /73)”
Itulah tadi kisah Ukasyah yang ingin menuntut atas apa yang pernah dilakukan Rasulullah kepadanya. Apakah kisah itu Shahih atau tidak?
Sanad dari hadits di atas, yaitu Muhammad bin Muhammad bin al-Bara, dari Abdul Mun’im bin Idris bin Sinan, dari ayahnya (Idris bin Sinan), dari Wahb bin Munabbih, dari Jabir bin Abdillah, dari Abdullah bin Abbas. Banyak ulama yang mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu. Rawi yang tertuduh adalah al-Mun’im bin Idris.
Beberapa pendapat para ulama terkait hadits tersebut,
- Imam Ibn al-Jauzi
Imam Ibn al-Jauzi dengan menyatakan hadith ini adalah palsu dan semoga Allah SWT mnghukum kepada sesiapa yang berniat merosakkan syariah dengan kekeliruan yang dingin dan ucapan yang tidak layak disandarkan kepada Nabi SAW dan juga para sahabat. [Lihat: al-Mawdhu’at, 301/1]
- Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah mengatakan,
“Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani. Di dalam sanadnya terdapat Abdul Mun’im bin Idris dan ia adalah pendusta dan tukang pemalsu hadits.” (Majma’ az-Zawaid, al-Haitsami, 9/31)
- Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan,
“Abdul Mun’im bin Idris, meriwayatkan darinya orang-orang Irak. Ia memalsukan hadits atas nama ayahnya dan rawi-rawi tsiqah lainnya. Tidak halal berhujah dengannya.” (Al-Majruhin min al-Muhaditsin, Ibnu Hibban, 2/157)
- Imam Ibn Iraq al-Kinani
Imam Ibn Iraq al-Kinani menyatakan salah seorang perawi di dalam hadith tersebut dinilai sebagai pendusta iaitu Abd al-Mun’im bin Idris. [Lihat: Tanzih al-Syari’ah, 331/1]
- Adz-Dzahabi mengatakan,
“dan Nabi memberikan tali kekang kepada Ukasyah agar ia memukul beliau.’ ‘Ini termasuk dari hadits-hadits palsu yang terdapat dalam Al-Hilyah” (Talkhis Kitab al-Maudhu’at li Ibni al-Jauzi, adz-Dzahabi, 1/89)
Dan masih banyak pendapat ulama lainnya tentang hadits ini. Jadi, memang banyak ulama yang berpandangan bahwa hadits tersebut adalah palsu atau rusak, dan perawi yang tertuduh sebagai pemalsu adalah Abd al-Mun’im bin Idris. Pada kesempatan kali ini, penulis hanya menyampaikan pendapat para ulama (dari sisi sanad), pada kesempatan selanjutnya penulis akan mencoba menyediakan dari sisi matannya. Insya Allah. [Abian Hilmi]
Editor: Syukron Ma’mun