Perjalanan Sunan Kalijaga Mencari Kayu Jati dan Sejarah Penamaan Daerah-daerah di Semarang

Masjid Agung Demak (pinterest - almuhtada.org)

Almuhtada.org – Hawa sejuk masih terasa menyelimuti Kelurahan Sadeng, Gunungpati, Semarang. Perjalanan penulis kali ini dimulai dari sebuah wisata yang terkenal akan hubungannya dengan Sunan Kalijaga serta banyaknya monyet yang hidup berkeliaran bebas, wisata tersebut adalah Gua Kreo. Alamnya yang asri serta kisahnya yang mistis menjadi daya tarik tersendiri bagi gua ini, tak ayal jika Pemerintah Kota Semarang mengembangkan daerah ini menjadi daerah wisata keluarga yang edukatif.

Begitu penulis masuk ke kawasan Gua Kreo, penulis langsung disuguhkan dengan berbagai macam tulisan yang menceritakan bagaimana sejarah kawasan wisata ini.

Semakin penulis membaca, semakin penulis merasa penasaran dengan sejarah gua tersebut serta hubungannya dengan perjalanan Sunan Kalijaga dalam mencari kayu untuk pembangunan Masjid Agung Demak.

Alkisah, pada sekitar tahun 1400 M, Para Walisongo sedang menggelar rapat di Keraton Demak Bintoro dalam rangka membahas pembangunan masjid yang nantinya akan digunakan sebagai pusat dakwah. Dalam rapat tersebut, Raden Patah, sebagai Sultan Demak, meminta bantuan para wali untuk mencari kayu jati tua yang kokoh sebagai tiang utama penyangga masjid. Kayu jati dipilih karena dianggap melambangkan keteguhan iman dan kekuatan umat Islam.

Sunan Kalijaga sebagai salah seorang penerima mandat sang sultan, akhirnya bergegas menuju wilayah sekitar Demak untuk mencari kayu yang diinginkan dengan ditemani oleh Ki Tapek Tumunggul. Setelah lama beliau mencari, beliau akhirnya menemukan pohon jati yang cocok dengan kriteria yang telah ditentukan. Beliau kemudian berniat untuk menebang pohon tersebut, namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sunan Kalijaga akhirnya menunda penebangan sampai keesokan harinya sembari menunggu para prajurit dari keraton.

Baca Juga:  Wayang, Media Dakwah Menyenangkan Ala Sunan Kalijaga

Beliau kemudian beristirahat di tepi sungai di sekitar pohon tersebut lalu menghangatkan diri dengan menyalakan api unggun. Dalam bahasa Jawa, menghangatkan diri di sekitar api unggun biasa disebut dengan nggarang awak. Dari peristiwa tersebut, daerah tersebut kemudian dinamai Kaligarang yang sekarang merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Semarang Barat.

Keesokan harinya, Sunan Kalijaga mendapati bahwa pohon jati yang telah diincar tiba-tiba menghilang. Sunan Kalijaga kemudian berusaha mencari pohon tersebut. Dari kejauhan, terlihat pohon jati tersebut ternyata telah berpindah tempat. Sunan Kalijaga kemudian bertapa di sebuah bukit untuk mencari petunjuk dengan menggunakan mata batin.

Dalam bahasa Jawa, berpindah tempat berati “ngaleh”. Maka daerah di sekitar tempat pohon jati incaran Sunan Kalijaga berpindah kemudian dinamai Jatingaleh yang berati “Pohon jati yang berpindah tempat”. Daerah tersebut sekarang masuk administrasi Kecamatan Candisari. Sedangkan bukit yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertapa dinamakan bukit Tinjomoyo, yang berarti mata batin.

Singkat cerita, Sunan Kalijaga akhirnya memutuskan untuk mencari pohon jati yang lain sampai malam menjelang. Sang sunan kemudian memutuskan untuk beristirahat dan melanjutkan pencarian keesokan harinya. Saat subuh tiba, Sunan Kalijaga merasa kesulitan mencari air untuk wudhu. Sang sunan kemudian menancapkan sebatang lidi ke tanah. Dari tancapan lidi tersebut, memancarlah air yang deras yang dapat beliau gunakan untuk berwudhu. Tempat tersebut kemudian dinamai Kalipancur yang sekarang masuk administrasi Kecamatan Ngaliyan.

Baca Juga:  Mengenal Pendiri Sekolah Islam Khusus Perempuan Pertama di Indonesia

Setelah sembahyang, sang sunan kemudian melanjutkan perncarian dan akhirnya berhasil menemukan kayu jati lain yang sesuai. Beliau kemudian menebang pohon tersebut. Tempat penemuan pohon tersebut kemudian dinamakan Jatiombo, yang berarti pohon jati yang besar karena pohonnya yang memiliki diameter yang sangat besar. Daerah Jatiombo sekarang masuk dalam daerah administrasi Kecamatan Mijen.

Seperti yang banyak dilakukan oleh para wali yang lain, kayu-kayu yang telah ditemukan kemudian dihanyutkan ke sungai sebagai cara untuk mengangkutnya ke Keraton Demak.

Sunan Kalijaga juga menerapkan hal yang serupa. Namun, saat dihanyutkan ke sungai, kayu tersebut tersangkut di antara bebatuan, walaupun sudah berusaha mengangkat kayu tersebut, hasilnya tetap sia-sia. Sang sunan akhirnya masuk ke gua untuk bersemedi dan berdoa untuk meminta petunjuk.

Selesai bersemedi, beliau kemudian didatangi empat ekor monyet yang berbeda warna, ada yang kuning, merah, hitam, dan putih. Empat ekor tersebut kemudian membantu sang sunan untuk mengangkat kayu jati yang tersangkut tersebut.

Setelah berhasil, monyet-monyet tersebut mengikuti Sunan Kalijaga untuk turut menjaga kayu tersebut. Akan tetapi, Sunan melarangnya dengan mengatakan “Mangreho.” Lalu, Sunan Kalijaga pun memberikan tempat tinggal kepada empat ekor monyet tersebut berupa gua yang sebelumnya digunakan sebagai tempat bersemedi dan menitah mereka untuk tetap menjaga gua tersebut. Gua tersebut kemudian dinamakan Gua Kreo yang diambil dari perkataan sang sunan “Mangreho” yang berarti menyingkirlah.

Baca Juga:  Kenapa Senyum Bisa Jadi Sedekah? Ini Penjelasan dalam Islam

Dalam usaha pencarian kayu jati yang nantinya akan digunakan sebagai tiang penyangga masjid, terdapat sebuah daerah yang menjadi pusat pengumpulan kayu-kayu oleh para wali yang nantinya akan dibawa ke Demak Bintoro. Tak hanya sebagai tempat pengumpulan kayu, daerah tersebut juga digunakan sebagai tempat peristirahatan para wali usai mencari kayu-kayu jati. Karena digunakan sebagai tempat pengumpulan kayu, daerah tersebut kemudian dinamai Sekayu, tempat dimana balaikota Semarang dibangun dan termasuk salah satu daerah di Semarang yang terkenal akan historical and cultural heritage-nya. Daerah tersebut masuk daerah administrasi Kecamatan Semarang Tengah. [] Moh. Zadidun Nurrohman

 

Related Posts

Latest Post