almuhtada.org – Setiap manusia akan melewati masa dimana semangatnya naik turun, diuji keimanannya, dan langkahnya terasa berat. Begitulah sunnatullah – hukum Allah dalam kehidupan ini – bahwa tidak ada jalan menuju kebaikan tanpa ujian. Istiqamah bukan berarti tidak pernah goyah, tetapi mampu kembali tegak setiap kali tergelincir.
Referensi: QS. Al-‘Ankabūt [29]: 2–3; Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jāmi‘ Al-‘Ulūm wal-Ḥikam, hlm. 72.
Perubahan zaman menghadirkan tantangan baru bagi orang beriman. Arus informasi yang deras, gaya hidup modern, dan tekanan sosial dapat mengguncang prinsip yang selama ini dijaga. Di tengah arus ini, istiqamah adalah bentuk keteguhan untuk tetap berpegang pada nilai-nilai kebenaran meskipun lingkungan mendorong ke arah sebaliknya.
Referensi: QS. Al-Māidah [5]: 48; Syekh Yusuf Al-Qaradawi, Al-Islām wa al-‘Aṣr, hlm. 45.
Allah berfirman dalam Surah Fussilat ayat 30: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih hati.” Ayat ini menegaskan bahwa istiqamah bukan sekadar ucapan, melainkan komitmen yang dijaga dalam seluruh aspek kehidupan.
Referensi: QS. Fussilat [41]: 30; Tafsir Ibnu Katsir, jilid 7, hlm. 165.
Istiqamah menuntut keikhlasan, kesabaran, dan kesadaran bahwa jalan Allah tidak selalu mudah. Namun, di balik setiap ujian, ada pelajaran yang menumbuhkan jiwa. Kesulitan bukan tanda Allah menjauh, tetapi justru bentuk perhatian-Nya agar hamba kembali menguatkan niat dan memperbarui iman.
Referensi: QS. Al-Baqarah [2]: 286; Imam Al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, jilid 4, hlm. 112.
Para ulama terdahulu mencontohkan istiqamah dengan amal yang konsisten. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, tetap mempertahankan kebenaran di masa fitnah besar meskipun disiksa. Dari kisah mereka, kita belajar bahwa istiqamah tidak hanya tentang keteguhan hati, tetapi juga keberanian untuk berdiri di sisi kebenaran.
Referensi: Siyar A‘lam an-Nubala’, Adz-Dzahabi, jilid 11, hlm. 230–240.
Dalam kehidupan sehari-hari, istiqamah bisa diwujudkan dengan hal-hal sederhana: menjaga salat lima waktu, menahan lisan dari ghibah, menepati janji, dan terus belajar meski sibuk. Setiap usaha kecil yang dilakukan secara konsisten lebih dicintai Allah daripada amal besar yang terputus, sebagaimana sabda Nabi Shalaallahu `alaihi wa Sallam: “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan terus-menerus meski sedikit.”
Referensi: HR. Bukhari No. 6464; HR. Muslim No. 783.
Perubahan zaman sering kali membuat sebagian orang kehilangan arah. Mereka merasa sulit mempertahankan nilai-nilai Islam di tengah budaya global yang permisif. Namun di sinilah makna sejati istiqamah diuji: apakah kita tetap memilih ketaatan meski tampak sulit, atau mengikuti arus demi kenyamanan sesaat.
Referensi: QS. Al-Baqarah [2]: 214; Syekh Sa‘id Hawwa, Tarbiyatunā ar-Rūḥiyyah, hlm. 97.
Istiqamah bukan berarti keras kepala, melainkan tegas dalam prinsip dan lembut dalam sikap. Seorang muslim bisa tetap modern tanpa kehilangan identitasnya, bisa bersikap terbuka tanpa menggadaikan aqidah. Keseimbangan ini hanya bisa dicapai bila iman menjadi pusat pengambilan keputusan.
Referensi: QS. Al-Hujurāt [49]: 13; Dr. Abdullah Nasih Ulwan, Ash-Shirāṭ al-Mustaqīm fī al-‘Aṣr al-Jadīd, hlm. 54.
Pada akhirnya, istiqamah adalah perjalanan panjang yang memerlukan muhasabah terus-menerus. Kadang kita lelah, kadang kita ingin berhenti, namun setiap kali mengingat janji Allah tentang surga bagi orang yang teguh, semangat itu kembali menyala. Istiqamah bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang terus berjuang menuju perbaikan tanpa menyerah.
Referensi: QS. Al-Ahqāf [46]: 13–14; Imam Ibnul Qayyim, Al-Fawāid, hlm. 85.
Kesimpulan
Langit kehidupan memang tak selalu cerah, namun bagi hati yang istiqamah, setiap badai justru menjadi jalan untuk semakin dekat kepada Allah. Dalam perubahan zaman yang cepat, istiqamah adalah benteng yang menjaga kita tetap di jalan kebenaran. Siapa pun yang mampu menjaga konsistensinya dalam ketaatan, akan menemukan ketenangan dalam hidupnya.
Referensi: QS. Ali ‘Imrān [3]: 200; HR. Tirmidzi No. 2410.
Alya Widya Hanifah











