almuhtada.org – Manusia memang merupakan makhluk yang lemah sesuai dengan apa yang Allah firmankan dalam Al-Quran. Namun, terdapat sebagian golongan manusia yang diberikan kemampuan diluar nalar manusia, seperti para Nabi dan Rasul dengan mukjizatnya, dan para Auliya dengan karomahnya.
Karomah merupakan suatu keistimewaan luar biasa yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Namun keberadaan karomah masih diperdebatkan di tengah-tengah masyarakat. Entah itu dari wujudnya sampai manifestasinya. Namun, meskipun begitu, kajian tentang karomah tetap menarik untuk diteliti dan ditelusuri ceritanya. Salah duanya adalah karomah Mbah Sholeh dan Mbah Bolong yang merupakan santri Sunan Ampel yang telah terkenal karomahnya.
Mbah Sholeh & Sembilan Makamnya
Mbah Sholeh merupakan salah satu santri Sunan Ampel yang terkenal karena sosoknya yang sangat rajin membersihkan Masjid Sunan Ampel. Bahkan diceritakan saking rajinnya beliau membersihkan masjid, sampai-sampai para jamaah tidak pernah merasakan adanya debu di lantai masjid. Sifatnya yang rajin dalam membersihkan masjid tak jarang mendapatkan sanjungan dari para jamaah, termasuk dari gurunya sendiri, yakni Sunan Ampel.
Ketika wafat, beliau dikebumikan di samping halaman Masjid Sunan Ampel. Seseorang juga harus menggantikan tugas Mbah Sholeh sebagai marbot. Namun nyatanya, tak seorangpun yang sanggup membersihkan masjid yang luasnya sekitar 4.000 meter persegi tersebut. Hal ini membuat masjid Sunan Ampel menjadi sangat kotor semenjak beliau wafat. Dalam kondisi demikian, Sunan Ampel langsung teringat dengan santrinya, Mbah Sholeh. Bahkan dikisahkan, Sunan Ampel pernah sampai mengucapkan kata-kata bahwa jika saja Mbah Sholeh masih hidup, tentunya masjid tidak akan sekotor ini.
Setelah kata-kata tersebut keluar dari mulut sang guru, Mbah Sholeh mendadak berada di pengimaman masjid sedang membersihkan lantai. Orang-orang pun terkejut ketika melihat Mbah Sholeh hidup lagi dan menyapu seperti biasanya, seakan-akan tidak pernah terjadi apapun pada beliau.
Namun, selang beberapa bulan kemudian, Mbah Sholeh wafat lagi dan dikebumikan di samping kuburannya yang dulu. Wafatnya beliau kemudian membuat masjid menjadi kotor lagi sehingga Sunan Ampel mengatakan kata-kata yang persis seperti apa yang beliau ucapkan dulu dan membuat Mbah Sholeh hidup lagi. Kejadian ini terus berulang beberapa kali sampai kuburan Mbah Sholeh berjumlah delapan.
Ketika kuburan beliau berjumlah delapan, Sunan Ampel wafat, bertepatan pada tahun 1481 M. Beberapa bulan kemudian, Mbah Sholeh menyusul meninggal dunia untuk yang terakhir kali. Sehingga beliau meninggal sebanyak sembilan kali dan dikubur sebanyak sembilan kali pula.
Sembilan kuburan Mbah Sholeh masih ada hingga kini berada di Pelataran Masjid Agung Sunan Ampel dan masih ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai pelosok Nusantara.
Mbah Bolong & Kemampuannya Melihat Ka’bah dari Surabaya
Tak jauh berbeda dari Mbah Sholeh, Mbah Bolong yang bernama asli Mbah Sonhaji yang terkenal memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Beliau juga merupakan salah satu santri Sunan Ampel yang memiliki karomah, yakni melihat Ka’bah dari Surabaya.
Alkisah suatu ketika, diadakanlah renovasi pada Masjid Agung Sunan Ampel. Singkat cerita, seluruh renovasi telah berjalan dengan baik dan lancar. Namun, masih terdapat satu masalah yang diperdebatkan di antara para santri Sunan Ampel, yakni kiblat sholat.
Perdebatan tersebut terjadi dengan sangat sengit dan nyaris tak berujung. Melihat hal tersebut, Sunan Ampel kemudian mengutus Mbah Bolong untuk menjadi penananggung jawab terkait dengan masalah kiblat shalat.
Mbah Bolong dengan cepat berhasil menentukan arah kiblat. Namun, sebagian santri masih meragukan kiblat yang diarahkan oleh Mbah Bolong. Hingga kemudian, Mbah Bolong dengan karomahnya, melubangi dinding pengimaman Masjid Sunan Ampel dan terlihatlah Ka’bah dari lubang tersebut. Dengan demikian, permasalahan mengenai kiblat shalat akhirnya dapat dituntaskan.
Demikianlah cerita mengenai dua figur yang melegenda di antara kompleks pemakaman Ampeldenta. Meskipun kedua cerita tersebut sudah tidak relate dengan kehidupan di zaman sekarang bahkan sering ditentang oleh sebagian masyarakat karena dinilai terlalu berlawanan dengan batas rasionalitas manusia, kedua cerita tersebut nyatanya masih eksis hingga saat ini dan terus diceritakan dari mulut ke mulut, membuktikan bahwasannya kepercayaan masyarakat pada karomah para wali masih tetap lestari. [] Moh. Zadidun Nurrohman











