Menilik Fenomena Fatherless dari Perspektif Islam

Ilustrasi seorang ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak (freepik.com - almuhtada.org)

almuhtada.org – Istilah fatherless menjadi salah satu isu yang sering menjadi pembahasan di mana-mana. Istilah ini hadir di tengah masyarakat yang mulai memiliki kesadaran akan peran sentral seorang ayah dalam pengasuhan anak.

Indonesia disebut sebagai negara fatherless nomor tiga di dunia, istilah ini sering merujuk pada ketidakhadiran peran ayah secara maksimal dalam proses tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun psikologis.

Hal ini tentu saja dipicu oleh beberapa faktor secerti percerian, ayah bekerja di luar daerah, hingga masalah kesehatan. Yang paling mengakar adalah sebuah pandangan budaya lokal yang membatasi tanggung jawab hanya sebagai pencari nafkah. Akibatnya, pengasuhan dan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama dibebankan kepada ibu.

Dampak Nyata Kekosongan Peran Ayah

Ketidakhadiran peran ayah ini memiliki dampak nyata dan serius pada perkembangan karakter dan mental anak. Dampak psikologis negatif yang ditimbulkan termasuk anak menjadi minder, memiliki harga diri rendah (low self-esteem), sulit mengontrol diri, mudah menyerah, dan rentan terhadap rasa marah, sedih, dan kesepian.

Anak-anak yang mengalami fatherless juga cenderung kesulitan dalam bidang akademis, yang terlihat dari rendahnya prestasi belajar atau IPK. Bagi anak perempuan, ketiadaan figur ayah bisa menyebabkan mereka mencari keterikatan emosional pada pasangan yang berbeda-beda untuk mengisi kekosongan tersebut, bahkan berisiko terlibat dalam perilaku seksual yang tidak sehat atau kenakalan remaja.

Baca Juga:  The Story of the Prophet Sham'un Al-Ghazi, The Background of The Night of Lailatul Qadr

Peran Sentral Ayah dalam Perspektif Islam

Agama Islam secara tegas mendorong dan menuntut keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Ayah tidak hanya dipandang sebagai pemimpin dalam keluarga, tetapi juga sebagai pendidik. Tanggung jawab ayah meliputi pemenuhan kebutuhan finansial, sosial, dan spiritual anak, serta mendidik anak secara emosional, kognitif, moral, dan spiritual.

Islam mengajarkan bahwa menjaga keberlangsungan hidup anak dengan memelihara dan mendidiknya merupakan suatu kewajiban dan termasuk dosa besar jika dilalaikan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Tahrim ayat 6, ayah bertanggung jawab memelihara dirinya dan keluarganya dari api neraka.

Bahkan Al Qur’an menyajikan berbagai kisah teladan tentang peran ayah yang ideal untuk mencegah fenomena fatherless ini:

  1. Luqman

Beliau mencontohkan komunikasi yang baik dan dialog dengan anaknya, menanamkan nilai tauhid (jangan mempersekutukan Allah), serta mengajarkan keimanan, hikmah, dan kesabaran.

  1. Nabi Ibrahim

Beliau menunjukkan kasih sayang dan kemesraan dengan memanggil anaknya ‘ya bunayya‘ (wahai anakku). Ibrahim juga mengajarkan pentingnya diskusi terbuka dan kepasrahan kepada perintah Allah, bahkan dalam kondisi paling sulit.

  1. Nabi Ya’qub

Beliau menunjukkan kesabaran dan terus memberikan pendidikan meskipun menghadapi kenakalan anak-anaknya (kasus Yusuf dan Bunyamin).

Kehadiran ayah sangat berpengaruh pada tahap perkembangan anak, terutama pada usia 7-15 tahun. Ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan mampu membentuk anak menjadi individu yang berani, tegas, mandiri, dan memiliki kematangan emosi yang baik. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang seimbang antara ayah dan ibu dalam mengasuh, mendidik, dan membimbing anak. Islam mendorong agar ketika ayah sudah tiada, wali (seperti kakek atau paman) hendaknya mengambil peran ayah dalam pengasuhan untuk mencegah dampak negatif ini. [Khariztma Nuril Qolbi Barlanti]

Baca Juga:  Shalat Ketika Memiliki Hajat, Bagaimana Tata Caranya?

 

Related Posts

Latest Post