almuhtada.org – Selain kulinernya yang terkenal murah meriah nan lezat, suku Minangkabau ternyata juga lekat dengan adatnya yang begitu kental dengan syariat-syariat Islam. Hal ini tentunya bukan lagi menjadi rahasia tersembunyi bagi warga Indonesia. Sebagaimana jargon khasnya, yakni “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Quran). Dilihat dari jargon atau istilah adat tersebut saja sudah dapat dirasakan betapa Islam telah merasuk ke dalam relung-relung tatanan hiudp masyarakat Suku Minangkabau.
Siapa sangka, suku penganut sistem matrilineal terbesar ini pada awalnya merupakan penganut agama Buddha yang taat. Hal ini dapat disaksikan dari kerajaan-kerajaan Buddha yang dahulu pernah menapakkan kaki di ranah minang, seperti kerajaan Sriwijaya hingga kemudian digantikan oleh Kerajaan Dharmasraya.
Hingga kemudian pedagang-pedagang muslim datang ke daerah-daerah pesisir barat dan timur Pulau Sumatra. Seperti halnya di Jawa dan di daerah-daerah lain di Nusantara, para pedagang muslim yang berdagang di Sumatra tersebut juga turut memperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat sekitar dan membuat sebagian besar masyarakat Minang (Pesisir maupun pedalaman) menganut agama Islam.
Kemudian, agama Islam semakin berkembang pesat di tanah Minang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Pagaruyung yang mengadopsi sistem hukum agama Islam. Ditambah lagi dengan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa hukum Islam dapat menjadi jawaban yang rasional atas permasalahan-permasalahan yang terdapat pada kehidupan masyarakat Minang. Hal itu membuat syariat Islam dianggap setara dengan hukum adat kala itu.
Pada akhir abad ke-18, stok komoditas utama orang Minang pada waktu itu, yakni rempah-rempah dan tambang emas menipis. Kemudian, hal itu digantikan dengan komoditas lain yang menggantikan komoditas utama, seperti kapas, lada, dan kopi. Pergantian komoditas tersebut membuat persebaran kekayaan menjadi lebih merata di tengah-tengah masyarakat.
Persebaran kekayaan tersebut dapat membuat masyarakat Minangkabau melaksanakan ritual ibadah Haji di tanah suci. Bersamaan dengan banyaknya orang Minang yang melaksanakan ibadah haji, terjadi gejolak politik di Timur Tengah. Gejolak tersebut digerakkan oleh aliran Wahabi dengan tujuan mengembalikan Islam murni.
Hal ini kemudian menginspirasi orang-orang Minang untuk melakukan hal yang sama, yakni mengembalikan Islam secara murni. Juga berupaya menghilangkan budaya-budaya Minang yang dianggap tidak sesuai dengan poin-poin hukum Syariah Islam, seperti sabung ayam, berjudi makan tembakau.
Namun, upayanya masih dianggap kontroversial di kalangan Masyarakat Adat, seperti dimulainya gerakan pemurnian nagari–nagari dengan tegas, dimana setiap pelanggaran syariat akan berakibat pada pembakaran nagari. Peraturan ini tentunya memancing banyak reaksi negatif di Kalangan Adat dan akhirnya membuat gesekan-gesekan terhadap Kaum Padri (Sebutan Kaum Ulama).
Gesekan-gesekan tersebut kemudian semakin membesar dan kemudian perang yang paling buruk sepanjang sejarah Minang, yakni Perang Padri pecah. Perang ini bahkan menjadi yang paling buruk sehingga Kerajaan Pagaruyung pada waktu itu diceritakan oleh Thomas S. Raffless sampai terbakar habis dan menyisakan serakan puing-puing kerajaan di Tanah Datar. Para bangsawan kemudian terpaksa mengemis meminta Belanda untuk mengintervensi perang saudara ini agar dapat segera berakhir.
Tiga tahun sudah perang menggelora dan tak kunjung menunjukkan tanda-tanda usai. Belanda yang waktu itu membantu meredam Kaum Padri semakin kewalahan tatkala di Jawa, Pangeran Diponegoro menyatakan perang terhadap kuasa Hindia-Belanda. Fokus Belanda pecah dan mau tidak mau, salah satunya harus ditunda dahulu. Maka Perang Paderi ditunda dengan perjanjian gencatan senjata.
Pada masa-masa gencatan senjata tersebut, kondisi masyarakat Minang berangsur-angsur membaik, kedua kubu mulai hidup dengan damai. Melihat hal tersebut, Tuanku Imam Bonjol kemudian berpikir bahwa kompromi dengan kaum Adat merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik dibandingkan perang yang merugikan rakyat Minangkabau di kedua kubu. Hingga kemudian digelarlah sebuah kompromi yang merumuskan konsep hukum adat dimana adat Minang diharuskan sesuai dengan syariat agama Islam dan syariat agama Islam harus sesuai dengan Al-Quran, sesuai dengan istilah adat yakni “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Prinsip ini kemudian menjadi kesepahaman inti masyarakat Minangkabau sampai hari ini. [] Moh. Zadidun Nurrohman











