Memahami Pajak dalam Perspektif Ibnu Khaldun

Ilustrasi orang yang sedang menghitung pajak penghasilan (freepik.com - almuhtada.org)

almuhtada.org – Akhir-akhir ini warga Indonesia sedang dibuat emosi lantaran kenaikan dan kemunculan jenis pajak baru yang sebelumnya tidak ada.

Berdasarkan data dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat lebih dari 100 daerah di Indonesia yang menaikkan tarif PBB-P2 atau Pajak Bumi Bangunan pada tahun 2025. Bahkan kurang lebih 20 daerah menaikkan lebih dari 100 persen, dari Pati 250 persen, Bone 300 persen, Semarang 400 persen, hingga Jombang yang mencapai 800 persen.

Baca Juga:  Bolehkah Menjadi Wanita Karier? Simak Beginilah Menurut Pandangan Islam

Kenaikan pajak di tengah kondisi perekonomian rakyat yang sedang tidak stabil, bukanlah kebijakan yang patut dibenarkan. Ketika rakyat bekerja mati-matian untuk menghidupi keluarga dengan pendapatan yang pas-pasan, justru pemerintah dengan santainya menaikkan tarif pajak yang semakin mencekik rakyat. Padahal dalam Islam jelas sekali disampaikan oleh Rasulullah :

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”

Pertanyaannya, apakah pajak saat ini dibayar secara sukarela oleh rakyat? Nyatanya tidak. Peristiwa demo di Pati adalah bukti ke-tidakrelaan rakyat atas kebijakan pajak yang berlaku. Jumhur ulama memang mengharamkan adanya pajak. Namun, keharaman pajak tidak lantas mudah diterapkan di Indonesia yang bukan menganut hukum Islam dalam proses penyelenggaraan negara.

Seorang sejarawan sekaligus sosiolog Islam Ibnu Khaldun memiliki perspektif yang berbeda dari kebanyakan ulama terkait hukum pajak. Dalam bukunya yang berjudul Muqaddimah, beliau membahas mengenai perpajakan.

Baca Juga:  Berdoa di Media Sosial? Begini Menurut Islam

Teorinya mendahului teori Adam Smith tentang Canons of taxation yang artinya kaidah-kaidah perpajakan. Menurut Ibnu Khaldun, pajak yang rendah berdampak pada insentif kegiatan ekonomi yang mendorong perdagangan, dengan begitu pendapatan pajak akan meningkat dengan sendirinya. Sebaliknya ketika tarif pajak naik, perekonomian pun akan mengalami stagnantasi yang berdampak pada ketidakstabilan ekonomi yang menghancurkan negara.

Terlepas dari pendapat ulama mengenai keharaman pajak, yang jelas tujuan diadakannya pajak adalah untuk bersama membangun negara dalam mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Sehingga, sudah sepatutnya pajak dikelola dengan baik untuk membangun infrastruktur, peningkatan kualitas di bidang kesehatan dan pendidikan, serta pembangunan sumber daya manusia.

Oleh karena itu, pengelola pajak haruslah orang-orang yang bersih, jujur, dan tidak korup. Karena pada dasarnya, sifat serakah tentulah ada di setiap manusia, namun hal tersebut dapat dikendalikan jika seseorang memiliki prinsip dan hati nurani yang diimbangi melalui regulasi dan sistem hukum yang kuat.

Sekarang  lihatlah negara kita, apakah pajak yang dibayar sebanding dengan yang kita dapatkan? Atau justru selama ini uang rakyat digunakan untuk membiayai hidup para pejabat yang tidak memiliki empati terhadap rakyat.

Baca Juga:  Mahar untuk Menikah Harusnya Seperti Apa?

Belum lagi sistem penegakan hukum yang kacau, transparansi keuangan tidak jelas, serta pemanfaatan pajak mayoritas digunakan untuk mendanai proyek ambisius yang tidak ada urgensinya bagi masyarakat.

Jika  keadaannya demikian, maka pajak yang seharusnya ditunaikan tanpa adanya paksaan, justru lebih menyerupai pemalakan. Semoga negara kita mampu bangkit dari krisis ini, entah melalui reformasi atau revolusi yang mampu membawa harapan baru bagi Indonesia. Aamiin. [Hanum Salsabila] – Mahasantri Angkatan 6

Related Posts

Latest Post