Rukun Islam Terakhir, Tapi Jadi Ambisi Pertama

Orang yang sedang melakukan serangkaian ibadah haji atau umrah (almuhtada.org - pexels.com)

almuhtada.org Kalau bicara soal rukun Islam, kita semua pasti hafal urutannya: syahadat, salat, zakat, puasa, lalu haji. Haji itu rukun Islam yang terakhir. Tapi anehnya, justru banyak orang sekarang yang menjadikan haji sebagai tujuan nomor satu. Bahkan kadang lebih diprioritaskan daripada salat lima waktu atau zakat yang masih sering dilupakan.

Sekarang ini, haji sering kali bukan lagi soal ibadah, tapi soal pencapaian. Gelar “Haji” di depan nama terasa lebih penting daripada menjaga salat tepat waktu atau berbicara baik kepada orang tua.

Banyak orang berlomba-lomba ingin naik haji bukan karena merasa sudah siap lahir batin, tapi karena dorongan sosial, seolah kalau belum haji, belum sah jadi orang terpandang.

Baca Juga:  Berani Menjadi Insan yang Lebih Baik Pada Tahun Baru Islam

Padahal Allah sudah menegaskan bahwa haji hanya diwajibkan bagi orang yang benar-benar mampu. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”
(QS. Ali ‘Imran: 97)

Tapi yang dimaksud “mampu” bukan cuma soal punya uang. Banyak ulama menjelaskan bahwa istitha’ah (kemampuan) juga mencakup kesehatan, keamanan perjalanan, dan kondisi keluarga yang ditinggal. Sayangnya, sekarang banyak yang memaksakan diri: jual sawah, utang sana-sini, bahkan meninggalkan keluarga dalam kesulitan, hanya demi bisa berhaji.

Baca Juga:  Mengapa Allah Bersumpah dengan Waktu Subuh dan Sepuluh Hari Dzulhijjah?

Yang lebih ironis, kadang orang-orang ini belum menjaga salat lima waktu dengan konsisten. Bahkan ada yang belum benar-benar paham makna syahadat atau belum terbiasa menunaikan zakat. Tapi karena haji terlihat “wah” dan bisa dilihat orang lain, maka itu yang duluan dikejar. Seolah haji adalah tiket cepat untuk dianggap saleh.

Lebih jauh lagi, banyak orang yang sudah pernah haji pun terus mengulanginya. Haji dua kali, tiga kali, bahkan tiap tahun. Sementara saudara kita yang lain harus menunggu antrean belasan bahkan puluhan tahun hanya untuk bisa berangkat sekali. Padahal Nabi Muhammad ﷺ sudah bersabda:
“Haji itu hanya sekali (wajib). Barang siapa melakukannya lebih dari sekali, maka itu (hukumnya) sunnah.”
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Baca Juga:  Inilah Perbedaan Antara Umrah dan Haji, Umat Muslim Wajib Tahu!

Kalau memang sudah pernah berhaji dan masih punya rezeki lebih, kenapa tidak dipakai untuk bantu sesama? Masih banyak orang yang belum punya rumah, anak yatim yang butuh sekolah, atau masjid di pelosok yang butuh renovasi. Semua itu juga ibadah, dan bisa jadi lebih dibutuhkan.

Karena sejatinya, haji bukan sekadar perjalanan fisik. Haji adalah perjalanan hati. Ia bukan tentang pergi ke Mekkah semata, tapi tentang pulang dengan jiwa yang lebih bersih. Rasulullah ﷺ bersabda:ُ
“Barang siapa berhaji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat maksiat, maka ia pulang seperti hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Tapi hari ini, tak sedikit yang pulang dari haji tanpa perubahan apa-apa. Masih mudah marah, masih bicara kasar, bahkan masih menipu saat berdagang. Jadi sebenarnya, apa makna haji kalau tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik?

Baca Juga:  Penghianatan Samiri Terhadap Islam dan Balasan Allah Kepadanya

Jangan sampai ibadah yang begitu agung berubah jadi ajang pamer. Jangan sampai rukun Islam yang terakhir justru kita kejar duluan hanya karena ingin dilihat orang. Dan jangan pula kita lupa bahwa Islam adalah agama yang adil dan berimbang. Allah menilai bukan dari seberapa cepat kita ke Mekkah, tapi seberapa ikhlas hati kita dalam menjalani semua perintah-Nya.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)

Maka sebelum sibuk mengejar gelar “Haji”, mari periksa dulu: sudahkah kita tunaikan salat dengan khusyuk? Sudahkah kita menunaikan zakat dengan ikhlas? Sudahkah kita memuliakan orang tua dan menyayangi tetangga? Jangan sampai yang terakhir kita kejar, justru jadi bukti bahwa yang utama belum kita jalani. [] Muhammad Nabil Hasan

 

Related Posts

Latest Post