almuhtada.org – Ketika Sebuah Cinta Diuji Oleh Allah Swt.
Setiap dari jiwa yang mencintai, pastinya akan diuji. Sebab sejatinya cinta sejati bukan hany tentang memiliki saja, akan tetapi mengenai sejauh mana diri dan juga hati kita rela melepaskan sesuatu demi sesuatu lain yang lebih mulia dan agung. Inilah sebuah kisah Nabi Ibrahim a.s., bukan hanya tentang hubungan seorang ayah dan juga anak semata, akan tetapi tentang benturan ujian antara cinta terhadap kehidupan dunia dan juga panggilan Illahi. Kisah tersebut bukan hanya sekadar potongan sejarah semata yang menjadi angin lalu, melainkan sebuah lentera sebagai penerangan cahaya hati yang abadi bagi diri dan hati kita yang ingin mendekat kepada-Nya.
Kisah dari Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s.
Pertama, Doa Seorang Ayah atas Harapan yang Lama telah ditunggunya
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ
Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. Ash-Shaffat ayat 100)
Setelah bertahun-tahun lamanya menanti sang buah hati akhirnya Nabi Ibrahim a.s. Memohon kepada Allah Swt. bukan hanya sekadar meminta diberikan seorang anak saja, akan tetapi seorang anak yang saleh.
Doa diatas bukan hanya tentang biologis yang nampak secara fisik semata, akan tetapi juga hati ruhani dan jiwanya saleh. Hal ini menunjukkan kepada kita semua bahwasanya harapan kita sebagai manusia kepada Allah SWT. boleh saja besar, akan tetapi perlu kita ingat harus diiringi dengan permohonan kepada Allah Swt. sebagai Pemilik Segala Kuasa.
Kedua, Janji Allah Swt. Kepada Nabi Ibrahim a.s. Atas Lahirnya Ismail a.s. yang Lemah Lembut Hatinya
فَبَشَّرْنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيمٍ
Artinya: “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat ayat 101)
Allah Swt. tidak hanya sekadar memberikan anak semata, akan tetapi seorang anak yang berhati penuh dengan lemah lembut dan juga rasa sabar yang tinggi. Keindahan akhlak Nabi Ismail a.s. menjadi ujian beliau karena sesungguhnya semakin besar rasa cinta maka akan semakin besar dan berat pula pengorbanan yang harus dilaluinya.
Perlu kita ingat bersama bahwasanya Allah Swt. memberi yang kita sebuah rasa cinta, bukan hanya untuk kita genggam dan kita tidak mau untuk melepaskannya, akan tetapi melatih diri dan hati kita agar bisa melepaskannya saat Allah Swt. memintanya kembali.
Ketiga, Perintah sebuah Ujian yang sering dianggap sebagai Titik Terendah dan Terlemah
إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ
“Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.” (QS. Ash-Shaffat ayat 102)
Nabi Ibrahim a.s. tidak memaksakan kehendaknya semata kepada anaknya, akan tetapi beliau berdialog kepadanya karena dalam agama bukan sebuah pemaksaan kehendak, akan tetapi atas dasar ketundukan bersama kepada Allah Swt. dengan cara menundukkan ego dan juga menyerahkan rasa sayang kepada-Nya Sang Pemberi rasa itu sendiri.
Contoh sederhananya yaitu seperti seorang orang tua yang harus merelakan anaknya untuk pergi menuntut ilmu ke luar kota/negeri yang jauh dari rumah, itu berarti bukan karena orang tuanya tidak cinta kepada anaknya, akan tetapi karena sebenarnya tahu bahwa cinta sejati orang tua itu mendidik untuk membuat anaknya lebih dekat kepada Allah Swt., bukan hanya kepada orang tuanya saja.
Keempat, Ketundukan Sang Anak atas Jawabannya kepada Allah Swt.
سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat ayat 102)
Nabi Ismail a.s., seorang anak yang masih muda dimana sedang dalam usia mencari jati dirinya, akan tetapi beliau memilih patuh atas perintah yang disampaikan oleh ayahnya yaitu Nabi Ibrahim a.s. Ia sebenarnya tahu, bahwa cinta dari ayahnya. bukan pada dirinya sebagai seorang anak, akan tetapi kepada Allah Swt. yang melebihi dan diatas segala-galanya. Maka Nabi Ismail a.s. tidak sepenuhnya pasrah dan juga bukan pula lemah, akan tetapi sebuah keberanian sejati di hadapan takdir Allah Swt.
Sebagai bahan refleksi sesungguhnya dalam diri kita semua ini mempunyai sesuatu yang sangat kita sayangi dalam hidup di dunia ini. Akan Tetapi saat pada Allah Swt. meminta sesuatu itu, apakah diri dan hati kita siap untuk melepaskannya di atas rasa keikhlasan yang tulus?
Kelima, Balasan dari Allah Swt. atas Pengorbanan yang tidak akan Pernah Sia-sia
وَفَدَيْنَـٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيم
“Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat ayat 107)
Allah Swt.pun turun tangan dimana alat penyembelih tidak mampu untuk melukai sedikitpun karena Allah Swt. ingin menegaskan kepada kita semua bahwasanya bukan darah dari Nabi Ismail a.s yang diinginkan-Nya, akan tapi keikhlasan hatinya. Maka dari itu diganti lah ia dengan tebusan sembelihan dari sur-Nyaa, sebagai tanda bukti nyata bahwa sejatinya cinta yang ikhlas karena Allah Swt. maka tidak akan pernah hilang sia-sia begitu saja.
Hikmah yang dapat kita ambil dari kisah diatas yaitu Allah Swt. tidak akan pernah membiarkan air mata dan juga perjuangan orang-orang yang tulus disia-siakan tanpa adanya balasan kebaikan dan pasti akan selalu ada tebusannya serta penggantinya. Tapi hanya bagi kita yang mau dan bisa untuk mengikhlaskannya karena Allah Swt..
Kaitannya dengan Kehidupan di Zaman Sekarang
Sekarang ini, mungkin tidak ada yang meminta untuk menyembelih anak. Akan tetapi Allah Swt. akan tetap menguji diri dan hati kita semua dengan ujian kehidupan di dunia dengan kegagalan dalam mencapai cita-cita yang kita impikan, dengan waktu yang kita gunakan selama ini, atau bahkan sampai dengan orang-orang yang paling kita cintai dan juga sayangi. Dengan adanya ujian tersebut maka diri dan hati kita diminta memilih pilihan tetap dekat dan selalu berharap pada Allah Swt., atau malah hanyut terbawa arus dalam perasaan diri kita sendiri.
Maka dari hal diatas maka pengorbanan yang bisa kita lakukan di zaman sekarang bisa dengan cara yaitu menjaga pandangan kita di media sosial atau di kehidupan nyata, kemudian, menahan ego dan juga kesenangan sesaat dengan cara ikhtiar belajar menunut ilmu serta saling menolong sesama. Sebab Allah Swt. melihat segala amal perbuatan yang kita kerjakan dan begitupun malaikat juga mencatatnya karena setiap pengorbanan yang kita lakukan pasti punya arti dan akan mendapat balasannya.
Ujian itu Menguatkan, bukan Melemahkan
Cinta yang benar-benar sejati bukanlah yang membuat diri dan hati kita lupa kepada Allah Swt. akan tetapi yang membuat kita semakin mendekat kepada-Nya. Karena dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dan juga Nabi Ismail a.s. mengajarkan hikmah yang besar kepada kita semua bahwasanya sesuatu hal yang paling kita cintai dan sayangi, justru malahan menjadi ujian terbesar dalam hidup kita. Dan semoga hati kita siapa tulus dan juga ikhlas karena Allah Swt. dan semoga diangkat derajat kita setinggi langit, aamiin. [] Alfian Hidayat – Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada Angkatan 5