almuhtada.org – Indonesia sering disebut sebagai “zamrud khatulistiwa” atau negara dengan tanah subur, laut luas, hutan tropis, serta perut bumi yang menyimpan emas, batu bara, dan nikel.
Namun, di tengah segala limpahan kekayaan itu, masih banyak masyarakat hidup dalam kemiskinan, pendidikan terbatas, dan kesenjangan sosial yang mencolok. Inilah ironi besar dari negeri yang katanya “kaya dengan sumber daya alamnya.”
Sebenarnya masalah utama bukan terletak pada kekurangan sumber daya, tapi pada pengelolaan yang buruk dan kebijakan yang sembrono. Menurut Margareth Henrika Silow seorang Dosen dari Universitas Mulawarman dalam tulisannya yang berjudul “Kemiskinan di Indonesia: Antara Angka, Budaya dan Tantangan Kebijakan” bahwa kemiskinan itu bentuk dari pola pikir dan keterampilan, seseorang meskipun hidup lalu diberikan sumber daya alam yang kaya tapi jika belum mampu mengelolanya dengan baik maka potensi untuk meningkatkan kesejahteraan juga sedikit.
Kemiskinan di Indonesia seperti sebuah lingkaran setan dan sifatnya kultural, apalagi didukung dengan kebijakan publik yang sering kali tidak memikirkan dampaknya secara jangka panjang pada masyarakat.
Contoh saja kasus-kasus di Papua, kalimantan dan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia dengan kekayaan alam yang begitu melimpahnya. Tapi apa yang diperoleh oleh masyarakat disana? Hasil bumi mereka habis dikeruk, lahan penghidupan habis dibabat dan hanya kerusakan alam yang ditinggalkan.
Semua sumber daya alam yang diekspor mentah tanpa nilai tambah. Hutan ditebang habis demi kepentingan jangka pendek. Tambang dibuka tanpa memikirkan dampak lingkungan. Sementara itu, keuntungan justru lebih banyak dinikmati oleh segelintir elite dan korporasi asing.
Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan yang selalu berubah-ubah mengikuti kepentingan politik sesaat. Banyak pejabat lebih sibuk menjaga kekuasaan daripada menyusun strategi jangka panjang. Akibatnya, sumber daya alam yang seharusnya jadi modal pembangunan malah menjadi sumber konflik, kerusakan, dan ketergantungan ekonomi.
Padahal, jika dikelola dengan bijak dan berkelanjutan, kekayaan alam Indonesia bisa menjadi fondasi kemandirian bangsa. Industrialisasi berbasis sumber daya alam, investasi pada riset dan teknologi, serta kebijakan yang transparan bisa membuka jalan menuju kesejahteraan merata.
Ironisnya hingga hari ini, rakyat sendiri kelaparan, banyak anak putus sekolah, PHK masal, lapangan pekerjaan minim, nelayan kalah oleh kapal asing dan bahkan pulau pun bisa dibeli. Tanah kita kaya, tapi kemiskinan tetap membayangi. Tetapi saat kita kritis dan bertanya ”siapa yang sebenarnya menikmati kekayaan negeri ini?”
Para pejabat hanya menjawab ”Jangan provokatif! Jangan mau dipengaruhi antek asing!” atau “sabar dong semua sudah sesuai prosedur dan peraturan” atau “jangan salahkan pemerintah terus” atau ”itu fitnah! Kami sudah bekerja dengan maksimal” dan jawaban-jawaban lain yang tidak solutif.
Mungkin ini adalah sebuah ujian yang harus dilalui bangsa yang kaya sebelum menjadi maju, tentunya harapan akan selalu menjadi pelita di tengah gelapnya kebijakan pemerintah.
“A nation of sheep will beget a government of wolves.” (Edward R. Murrow)
[Andhika Putri Maulani]