almuhtada.org – Pernahkah kamu terheran dengan kebaikan orang lain? Bagaimana bisa seseorang begitu baik setiap saat dalam kondisi apapun? Aku sering.
Suatu ketika seorang membawa pertanyaan itu ke permukaan membuatku harus menghadapi alasan di baliknya. Aku pun menanyakan kenapa aku mempertanyakan itu.
Apakah ada pada aku sebuah pemikiran tidak seharusnya orang selamanya bisa berbuat baik? Bahwa pasti ada saat di mana dirinya merasa muak dengan kebaikan, bahkan ketika itu demi dirinya sendiri? Memakan mi instan berturut-turut dalam seminggu misalnya.
Atau adakah aku adalah seorang buruk yang senantiasa meragukan kebaikan orang lain sebagai suatu upaya pencitraan?
Rupanya jawabannya sesimpel ketika seorang berbuat kebaikan maka dia orang baik. Kenyataannya adalah kebaikan adalah suatu yang hanya memerlukan kemauan. Itu adalah bentuk inklusifitas paling terbuka. Dan karena itu pulalah, kita tidak menahu atasnya sebagaimana luasnya kemungkinan untuk menjadi benar, adapula kebebasan untuk menyalahi.
Ketika orang berbuat baik, bukan urusan kita itu kepalsuan atau sebaliknya. Secara materialis, takaran kebaikan adalah kebermanfaatannya. Selama itu bermanfaat, soal niat tidak perlu dipersoalkan. Yang aku tahu, bukan aku yang mengganjar niatnya. Yang aku tahu, dia berbuat baik, maka dari itu dia orang baik.
Lantas apakah artinya kebaikan tidak ada artinya, hanya sebuah takaran materil kebermanfaatan?
Menurutku, justru pertanyaan di awallah yang menjadikannya berarti. Itu bukan suatu bentuk keraguan. Itu lebih lanjut mengindikasikan nilai manusia sebagai makhluk yang berfitrah cenderung kepada kebaikan. Dari situ pertanyaan bermunculan, karena merasa tidak cukup, karena ingin lebih baik.
Kiranya temanku yang menimbulkan pertanyaan ini adalah orang baik, maka semoga demikian juga para pembaca. []Muhammad Irbad Syariyah