almuhtada.org – Kemampuan berpikir kritis menjadi sangat krusial di tengah derasnya arus informasi,. Namun ironisnya, justru semakin sedikit orang yang benar-benar mengasah kemampuan ini. Bukan karena mereka tidak bisa tetapi karena mereka tidak mau.
Berpikir kritis sejatinya seperti latihan fisik. Ia butuh dilatih secara konsisten agar kuat. Sayangnya banyak dari kita memilih jalan nyaman dengan menerima informasi mentah-mentah tanpa upaya untuk menguji kebenarannya. Mengapa harus repot memverifikasi, membandingkan, dan menganalisis jika kita bisa langsung “percaya saja”? Di sinilah masalahnya dimulai.
Zona nyaman dalam berkeyakinan itu menggoda. Saat kita sudah percaya pada satu narasi kita cenderung menolak segala sesuatu yang bertentangan dengannya. Penolakan ini bukan hanya terjadi sekali dua kali. Setiap kali kita menolak pendapat berbeda kita memperkuat keyakinan awal kita dan bahkan jika keyakinan itu keliru.
Salah satu alasan utama mengapa banyak orang tidak berpikir kritis adalah karena otak kita secara biologis dirancang untuk efisiensi dan bukan kebenaran. Pikiran kritis butuh energi dan tubuh kita yang diwarisi dari nenek moyang pemburu dan pengumpul sangat hemat dalam membagi energi. Inilah yang disebut dengan “cognitive miserliness” atau kefikiran kognitif. Otak kita lebih suka mengambil jalan pintas daripada bersusah payah mengevaluasi informasi.
Namun bukan hanya kemalasan mental yang jadi penyebab. Ada juga yang disebut ketakutan sosial. Dalam banyak komunitas, mempertanyakan keyakinan umum bisa dianggap sebagai pengkhianatan.
Jika semua orang di sekeliling kita meyakini sesuatu lalu kita menentangnya maka risikonya bisa berupa dikucilkan. Maka daripada kehilangan pertemanan atau rasa aman dalam kelompok banyak orang memilih diam dan ikut arus.
Media sosial memperparah semua ini. Algoritma yang bekerja di balik layar justru menyaring informasi agar selaras dengan pandangan kita dibanding memperluas wawasan. Hasilnya kita terjebak dalam echo chamber yang memantulkan kembali keyakinan kita sendiri dan membuat kita makin yakin bahwa pandangan kita adalah satu-satunya kebenaran.
Celakanya adalah para pembuat opini, influencer, hingga elite politik tahu betul tentang kelemahan ini. Mereka tidak perlu menyajikan data atau argumen yang kuat. Cukup lempar pernyataan emosional yang menyentuh rasa takut, marah, atau bangga, dan orang-orang akan menyebarkannya tanpa pikir panjang.
Memang berpikir kritis adalah pilihan yang berat. Mengakui bahwa mungkin kita salah selama ini butuh keberanian luar biasa. Lebih mudah merasa benar dan nyaman dalam kebodohan yang tenang daripada merasa cemas karena mempertanyakan segala sesuatu.
Yang menyedihkan juga banyak dari kita tidak benar-benar ingin berpikir kritis. Kita lebih suka merasa benar meski itu hasil dari asumsi atau ilusi. Kebenaran yang kompleks dan rumit seringkali kalah menarik dibanding kesederhanaan palsu yang memuaskan ego.
Maka dari itu tantangan terbesar hari ini bukanlah kekurangan informasi melainkan kelangkaan kemauan untuk berpikir. Berpikir kritis bukan hanya tentang menjadi pintar tetapi tentang bersedia repot, bersedia salah, dan bersedia terus belajar. Dan itu sayangnya bukan sesuatu yang diinginkan banyak orang. [] SHOLIHUL ABIDIN
Editor : Shokifatus S