almuhtada.org – Kamu tentu pernah mengaku memaafkan seseorang tetapi masih merasakan ganjalan di hati. Itu artinya kamu belum melaksanakan tahapan selanjutnya dari memaafkan, yaitu memaafkan bukan demi kebaikan orang lain; bukan agar orang lepas dari rasa bersalah, melainkan untuk dirimu sendiri, agar kau lega dan lepas dari luka.
Ada dua jenis memaafkan, yaitu secara lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah maksudnya kamu sebagai makhluk sosial tentu pernah didikte untuk selalu memaafkan, bahwa memaafkan itu baik, sehingga kamu senantiasa melakukannya seolah telah terprogram begitu dalam otak. Akhirnya, makna memaafkan lepas dari arti literalnya, ia hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Supaya damai, katanya.
Dalam konstruksi sosial tersebut terbentuklah satu idiom, yaitu forgive and forget—memaafkan dan melupakan. Forgive adalah jenis memaafkan yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya, sedangkan melupakan adalah jenis satunya lagi (batiniah) yang dilakukan demi kebaikan diri sendiri. Keduanya adalah sejenis tahapan, atau kalau kau mau anggap saja sebagai pilihan.
Selanjutnya, melupakan di sini tidak serta merta artinya menghilangkan ingatan secara sadar, karena rasanya tidak mungkin lupa secara sadar, bukan? Melupakan dalam idiom tersebut merujuk pada suatu kesadaran di mana diri merasa lepas dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh seseorang, bahwa kamu mengikhlaskan yang telah terjadi berlalu, dan tidak lagi-lagi mengasosiasikan perasaan negatif yang timbul sebagai apa yang keseluruhannya dirimu. Kamu tidak lagi berpikir bahwa kamu suatu yang buruk sehingga pantas diperlakukan buruk. Kamu pun memaafkan demi kelegaan diri dengan forget.
Namun, ketika ingin mengaitkan ide tentang tahapan memaafkan ini dengan Al-Quran rupanya tidak ada satu, sejauh penelusuranku, yang mengaitkannya demi ketenangan diri. Di sana tertulis memaafkan hanya sebagai memaafkan. Itu menimbulkan satu gagasan, bahwa pada dasarnya ketika memaafkan sudah seharusnya kamu melepaskan seseorang dari rasa bersalahnya dan juga membiarkan dirimu tenang terlepas dari perasaan negatif atas pengalamanmu disalahi.
Jadi, ketika kamu memaafkan orang lain tetapi masih merasa buruk atasnya, kasarnya kamu bisa dikatakan mengucapkan tanpa meyakini. Dengan kata lain kau berbohong. Kamu tidak sedang memaafkan. Kamu hanya sedang memenuhi ekspektasi sosial yang selama ini menyuruhmu untuk menjadi pemaaf. Bukan aku mengatakan bahwa menjadi pemaaf adalah hal yang buruk, tetapi ketika maaf digolongkan menjadi memaafkan secara lahiriah dan batiniah dapat berdampak buruk ketika satu di antaranya tidak terpenuhi.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk memahami bahwa tidak seharusnya ada tahapan, jenis, atau bahkan pilihan dalam memaafkan. Ia adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Ketika memaafkan, maka kamu membiarkan semua pihak, dirimu dan yang menyalahimu, merasa tenang; kamu pun melembut dan mengikhlaskan kesalahan masa lalu biar berada di masa lalu. Semoga kita semua adalah orang-orang yang sadar. [M. Irbad Syariyah]
Editor: Syukron Ma’mun