almuhtada.org – Ketika kita membicarakan kemiskinan biasanya pembahasan berhenti pada faktor-faktor yang bersifat ekonomi seperti rendahnya penghasilan, keterbatasan akses pendidikan, atau minimnya modal usaha.
Namun, di balik itu semua ada dimensi yang jarang tersentuh dalam diskusi publik yaitu terkait beban mental atau kapasitas kognitif yang terbatas akibat tekanan hidup yang konstan.
Bayangkan otak manusia seperti perangkat komputer dengan kapasitas terbatas. Setiap hari kita menggunakan “RAM” mental ini untuk mengambil keputusan, menyelesaikan masalah, dan merencanakan kehidupan.
Namun bagi mereka yang hidup dalam kondisi miskin, hampir seluruh kapasitas mental ini sudah terkuras hanya untuk memikirkan kebutuhan paling mendasar yakni bagaimana membayar tagihan listrik, membeli makanan, atau membayar uang sekolah anak.
Hal ini disebut dengan bandwidth kognitif yaitu ruang mental yang tersedia untuk berpikir jernih dan membuat keputusan. Ketika seseorang terus-menerus dihantui oleh kekhawatiran akan kebutuhan dasar, kemampuan otak untuk berpikir strategis dan jangka panjang menjadi sangat terbatas.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tekanan hidup seperti ini bisa mengurangi performa kognitif setara dengan kurang tidur berat atau dalam kondisi mabuk. Artinya, mereka yang hidup dalam kemiskinan bukanlah tidak mampu berpikir rasional. Namun energi mental mereka telah habis digunakan untuk bertahan hidup dari hari ke hari.
Maka jangan heran bila mereka sulit menabung, merencanakan investasi, atau bahkan mengisi formulir bantuan sosial yang panjang dan rumit. Bukan karena malas atau tak paham, tetapi karena tidak ada lagi ruang dalam pikiran mereka untuk hal-hal itu.
Inilah jebakan kemiskinan yang sering luput dari perhatian. Kemiskinan bukan hanya kekurangan uang tetapi juga tentang bagaimana kondisi itu mencuri kemampuan seseorang untuk keluar dari lingkarannya. Ketika hidup selalu diwarnai oleh krisis harian, maka keputusan jangka panjang pun tertunda dan kemiskinan terus berulang.
Lebih ironis lagi, banyak program bantuan yang justru membebani mereka dengan birokrasi rumit seolah tidak memahami bahwa setiap tambahan formulir atau proses justru menambah beban pikiran yang sudah berat.
Sistem ini sering kali dirancang oleh orang-orang yang tidak pernah mengalami hidup dalam kekurangan sehingga tidak sadar bahwa akses bukan hanya soal tersedia atau tidak, tetapi juga soal bisa atau tidaknya seseorang secara mental untuk menjangkaunya.
Kita tidak bisa terus menyalahkan individu atas kondisi kemiskinan mereka. Sebaliknya, kita perlu memahami bahwa kemiskinan adalah masalah struktural dan psikologis. Mengabaikan hal ini sama saja dengan membiarkan jutaan orang terus terperangkap dalam lingkaran yang tak kunjung berakhir. [SHOLIHUL ABIDIN]
Editor: Syukron Ma’mun