almuhtada.org – Kezaliman, kata itu menyiratkan luka yang dalam, ketidakadilan yang memekik dalam diam, dan tangisan yang tertahan dalam dada mereka yang tertindas. Kezaliman berarti berbuat sewenang-wenang, mengambil hak orang lain tanpa kerelaan, menyakiti tanpa alasan, dan memperlakukan sesama manusia dengan ketidakadilan. Dalam pandangan Ibnu Jauzi, kezaliman tidak sekadar sebuah dosa sosial, tetapi juga bentuk kemaksiatan ganda merampas hak sesama dan sekaligus membangkang terhadap larangan Allah. Ia lahir dari kegelapan hati, dan hanya hati yang disinari petunjuklah yang mampu menghindarinya.
Sejarah dunia tak pernah lepas dari jejak kezaliman. Kita membaca kisah-kisah kejatuhan imperium besar: Romawi, Abbasiyah, bahkan peradaban-peradaban kuno di Amerika Latin. Bukan semata karena musuh dari luar, melainkan karena kezaliman di dalam yang menggerogoti perlahan. Ketika pemimpin tidak lagi mendengar jeritan rakyat, ketika hukum hanya menjadi tameng bagi yang berkuasa, dan ketika yang lemah dibiarkan hancur tanpa pembelaan, maka kehancuran hanyalah soal waktu. Ketidakadilan merobek kepercayaan sosial, memperlemah fondasi persatuan, dan membunuh semangat kolektif untuk bertahan sebagai bangsa.
Sekarang ini, di zaman modern yang katanya serba canggih, kezaliman ternyata belum juga hilang. Ia cuma berganti wajah: menjadi kesenjangan ekonomi yang makin lebar, konflik yang nggak ada habisnya, dan eksploitasi sumber daya alam serta manusia tanpa ampun. Setiap hari, di TV atau media sosial, kita lihat berita tentang perang, kelaparan, dan kemiskinan yang seolah nggak pernah selesai. Sementara itu, kekuasaan dan kekayaan malah makin numpuk di tangan segelintir orang, yang seringkali tutup mata dan telinga terhadap keluhan mereka yang hidup dalam kesulitan.
Akankah dunia tetap bertahan? Pertanyaan ini kadang muncul di kepala siapa saja yang masih peduli. Rasanya, dunia ini seperti lagi jalan di pinggir jurang, tinggal beberapa langkah lagi jatuh ke dalam kehancuran. Tapi di tengah rasa putus asa itu, selalu ada harapan kecil yang menyala. Karena di balik kezaliman yang makin merajalela, masih ada orang-orang yang memilih buat tetap jujur, tetap adil, dan berani berjuang untuk kebenaran.
Mereka mungkin minoritas, tetapi sejarah membuktikan perubahan besar seringkali lahir dari segelintir orang yang teguh. Jika ada cukup banyak manusia yang menjaga hati dari kegelapan, menolak tunduk pada kezaliman, dan berani membela keadilan meski harus melawan arus, maka dunia masih punya harapan untuk bertahan.
Oleh karenanya, siapa pun yang dianugerahi kekuasaan dalam bentuk jabatan, harta, atau ilmu hendaknya berhati-hati. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula tanggung jawab untuk tidak tergelincir dalam kezaliman. Pada akhirnya, pertanyaan besar itu “akankah dunia tetap bertahan” tidak bisa terjawab oleh sekedar ramalan ataupun angan-angan. Ia bergantung pada pilihan kita hari ini. Apakah kita membiarkan kezaliman terus merajalela? Ataukah kita berani berdiri, meski sendiri, untuk menyalakan kembali cahaya keadilan di dunia ini? [] Aisyatul Latifah
Editor : Juliana Setefani Usaini